Perlu
diketahui bahwa, dari sejak tahun 1967 Indonesia sudah menyerahkan dirinya untuk
diatur dan dijadikan target peghisapan oleh korporasi Internasional.[1] Para
pemimpin yang pernah dan sedang berkuasa pun menuntun dan memfasilitasinya
dengan membuat undang-undang penanaman modal asing, yang pada akhirnya
pemerintahan pun dikendalikan oleh bangsa asing., terutama Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya.
Pada
masa Orde Baru, bangsa asing menjadi pemegang kendali mutlak roda perekonomian
bangsa. Kemandirian ekonomi pada masa Soeharto telah rapuh seiring dengan
keterikatan negara Indonesia terhadap lembaga-lembaga imperialisme seperti World
Bank, Asian Development Bank, IMF, USAID, dan CGI.
Lembaga-lembaga tersebut memiliki kepentingan politik-ekonomi untuk menguasai
sumber daya alam dan pasar Indonesia. Mereka menggunakan lembaga-lembaga ini
untuk merealisasikan penjajahan ekonomi di negeri ini. Penyerahan tambang minyak dan gas bumi serta
diizinkannya Freeport masuk ke Indonesia menjadi bukti bahwa bangsa ini
dikendalikan oleh lembaga-lembaga imperialisme bentukan luar negeri.
Ketika
masa Gus Dur berkuasa, pihak asing melekatkan diri melalui lembaga-lembaga baru
yang tidak pernah dikenal sebelumnya dalam ketatanegaraan Indonesia, yaitu
Dewan Ekonomi Nasional dan Tim Asistensi pada Menko EKUIN, yang disponsori dan
dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan asing.
Sementara,
dalam era Megawati, pihak asing mengambil kembali sepenuhnya melalui
menteri-menteri yang menguasai dan menentukan kebijakan ekonomi. Pada masa
pemerintahan putri Soekarno ini telah banyak mengambil keputusan-keputusan
dalam bidang ekonomi yang lebih memperburuk ekonomi rakyat bahkan melapangkan
jalan guna pengerukan kekayaan alam Indonesia serta pembenaran atas diobralnya aset
nasional kepada swasta asing, seperti pada kasus penjualan saham Indosat. Dalam
kasus privatisasi Indosat pada tahun 2002 ini, disinyalir penguasa menerima
komisi penjualan aset tersebut sebesar 7 persen untuk kepentingan partai
politiknya dan pemenangan Pemilu Presiden 2004-2009.[2]
Kini, di era SBY, kendali ekonomi
semakin kokoh ada pada kekuatan asing. Pada masa pemerintahannya yang katanya
paling demokratis dibandingkan dengan masa Orde Lama dan Orde Baru ini,
ternyata hanya menuai kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Pada masa pemerintahan
SBY ini semakin rajin mengobral aset negara. Pada tahun 2007, pemerintah
merencanakan 15 BUMN yang hendak di privatisasi[3],
sedangkan tahun 2008 BUMN yang hendak diprivatisasi mencapai 44 BUMN.
Anggaran
APBN yang semestinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat justru mereka
gunakan sebagian besarnya untuk menutupi hutang negara. Seakan-akan rakyat yang harus menutupi dan membayar hutang
akibat ulah para penguasa yang telah menyebabkan negara ini bangkrut. Para
penguasa yang seharusnya melayani publik, mereka justru tidak peduli dengan
keadaan rakyatnya. Mereka lebih memperdulikan pelayanan terhadap para “tuan”
nya di negeri asing. Sedangkan, subsidi untuk kebutuhan rakyatnya sendiri dan
pelayanan publik tidak pernah mereka perhatikan. Inilah yang selama ini menjadi penyakit
dan penyebab masyarakat Indonesia menjadi semakin miskin dan terbelakang.
Kekayaan alam Indonesia yang begitu melimpah, tapi rakyatnya sendiri hidup
dalam keadaan serba susah. Mayoritas masyarakat hanya dijadikan sapi perah di
negerinya sendiri.
Jika kita yang merasa memiliki keyakinan dan
pendirian yang benar maka sudah selayaknya kita berjuang dengan ikhlas untuk
menyelamatkan negara ini yang hakekatnya merupakan karunia dari Allah SWT. Kita
harus bangkit dari keterpurukan dan segera mencampakkan sistem demokrasi serta
ide-ide kapitalis dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan terus
menerus berjuang disertai dengan keyakinan akan adanya pertolongan Allah bahwa pada
akhirnya nanti para penguasa dzalim itu pun akan menjadi tumbal dan menemui
ajalnya serta hukuman yang disebabkan oleh perbuatannya sendiri hingga mereka
pun mengakhiri kekuasaanya.
Mengenai
hal ini, Prabu Siliwangi telah menyampaikan dalam wangsitnya, beliau
mengatakan:
“Kekuasaan
penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan
menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk
mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri.”
Ulah
para penguasa yang pernah dan sedang berkuasa di negeri ini memang sudah
kelewatan dalam menyengsarakan rakyatnya. Pergantian penguasa dari mulai Orde
Lama, Orde Baru, hinggi kini di era reformasi tidak pernah memberikan
kemakmuran dan kesejahteraan, selain penderitaan yang dialami oleh masyarakat
akibat dipimpin oleh manusia-manusia yang serakah.
Oleh
karena itu, kepemimpinan adalah perkara penting dalam kehidupan ini karena
dapat membawa kejayaan atau kesengsaraan masyarakat yang dipimpinnya, baik di
dunia apalagi di akhirat nanti. Banyak orang yang menderita di dunia karena
kepemimpinan yang abused power[4]
dan banyak pula orang yang masuk neraka karena sewaktu hidupnya mengikuti para
penguasa yang durhaka kepada Allah SWT.
Mereka
sangat kecewa sehingga mengutuk penguasa yang sudah kelewatan menyengsarakan
rakyat yang sudah berharap agar ada mukjizat datang untuk mereka. Betapa
besarnya penyesalan dan kemarahan rakyat yang telah didzolimi oleh penguasa
yang sebelumnya menjanjikan kesejahteraan, tetapi nyatanya rakyat tak pernah
mendapatkan kesejahteraan dan yang ada malah kesengsaraan. Rakyat yang sudah
berharap agar ada mukjizat[5];
penguasa yang adil dan dapat membawa negeri ini pada kemajuan, namun malah
semakin membuat negeri ini terpuruk.
Disadari
atau tidak, semua para penguasa yang pernah dan sedang berkuasa di negeri ini
bekerja bukan untuk kepentingan rakyatnya. Kebanyakan mereka bekerja demi
melayani kepentingan asing. Meskipun mereka mengklaim bekerja hanya demi
kepentingan rakyat, tapi nyatanya mereka mengabaikan hak-hak rakyat.
Selama
dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nasib rakyat tidak
mengalami perubahan. Secara struktur ekonomi, kebijakan pemerintah selama ini
tidak bisa lepas dari kapitalisasi. Paling mudah melihat arah kebijakan
pemerintah itu yakni keluarnya Peraturan Presiden No. 111/2007 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden No.77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang
tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Permodalan.
Dalam
Perpres tersebut, beberapa bidang usaha yang terkait dengan hajat hidup orang
banyak seperti pertambangan, kesehatan, dan tanaman pangan, ternyata pihak
asing bisa memiliki saham hingga di atas 65 persen. Artinya investor asing bisa
mengelola sumber daya alam yang harusnya pemerintah lah yang mengusahakan.
Kebijakan ekonomi yang keluar justru makin membuat nasib rakyat semakin
miskin.
Selain
kebijakan pemerintah yang cenderung liberal ketimbang membela rakyatnya,
parahnya lagi pinjaman luar negeri dan surat berharga negara terus meningkat.
Menurut data Kementerian Keuangan tahun 2009, utang pemerintah Indonesia mencapai
Rp. 972,253 triliyun untuk utang obligasi dan 65,73 milyar dolar AS (Rp. 772,92
triliyun) untuk utang luar negeri.[6] Dengan
target penerimaan negara sebesar Rp. 847,7 triliyun, pembayaran utang negara
pada tahun 2009 memakan 20,31 persen pendapatan APBN, sedangkan cicilan bunganya
saja mencapai 12 persen. Diprediksi pada tahun 2014, nilai utang luar negeri
pemerintah yang jatuh tempo diperkirakan mencapai 31,545 milyar Dollar AS. Ironis,
sebagai negara yang mempunyai sumberdaya alam yang sangat melimpah, ternyata
bangsa ini hidup dari utang.
Ketika
masa pemerintahan SBY-JK, mereka pernah menjual blok minyak dan gas, menjual
BUMN dan berutang. Boediono yang saat pemerintahan Megawati menjadi Menko
Perekonomian justru menyetujui kontrak blok gas Tangguh, yang berpotensi
merugikan negara Rp. 750 triliyun (25 tahun) dan menjual murah Indosat sekitar
Rp. 5,26 triliyun kepada Temasek Holding. Kemudian kebijakan tersebut
dilanjutkan oleh SBY dengan mengizinkan Qtel (Qatar Telecomunication)
membeli saham Indosat dari Temasek Holding sebesar 1,8 miliar Dollar AS dan
menguasai saham Indosat hingga 65 persen.
Kebijakan
mengenai hutang luar negeri dan penjualan aset-aset negara seakan-akan menjadi
pilihan wajib untuk menutupi defisit anggaran. Di sisi lain, berbagai macam
subsidi yang selama ini dinikmati oleh rakyat banyak (mulai dari subsidi BBM,
pendidikan, kesehatan, dan sebagainya), pelan-pelan tapi pasti mulai dicabut
satu persatu oleh pemerintah SBY. Akibatnya, rakyat tidak lagi bisa menikmati
layanan-layanan publik dengan mudah dan murah. Sebaliknya, mereka harus merogoh
kantong lebih dalam agar bisa menikmati layanan-layanan publik yang semakin
hari semakin mahal dengan kualitas yang semakin buruk. Contohnya, meningkatnya biaya kesehatan dan
minimnya ketersediaan layanan kesehatan gratis di berbagai rumah sakit,
sehingga menjadikan masyarakat tidak bisa berobat akibat biaya kesehatan yang
semakin tak terjangkau oleh mereka, terutama rakyat miskin. Kalaupun ada rumah
sakit yang biaya kesehatannya murah, pasti kualitas dan pelayanannya pun sangat
buruk.
Kebijakan-kebijakan
yang menyangkut perkara-perkara ini juga didesain secara integral oleh SBY.
Tidak aneh, jika kemudian keadaan negeri ini semakin liberal dan banyak
aset-aset milik rakyat yang telah dijualnya. Walhasil, kondisi rakyat pun
semakin hari semakin miskin dan sengsara. Dampaknya tumbuh penyakit sosial di
masyarakat, seperti kriminalitas, pelacuran, gelandangan, pengemis yang hampir
setiap hari kita temukan di pinggir-pinggir jalan dan pada setiap lampu merah.
Dengan
berbagai bukti dan kenyataan yang ada tersebut, masyarakat sebaiknya jangan
terlalu berharap terlalu tinggi bahwa dengan sistem demokrasi bisa mensejahterakan rakyat. Suatu saat nanti kemarahan rakyat akan memuncak karena telah menjual dan merampok kekayaan alam Indonesia yang
sejatinya adalah milik rakyat. Akan ada penguasa yang menjadi tumbal kemarahan rakyat dan dituntut harus bertanggungjawab dengan apa yang
telah diperbuatnya terhadap bangsa ini
hingga rakyatnya sendiri menjadi miskin dan menderita.
Kemudian,
menurut Prabu Siliwangi dalam wangsitnya, mengatakan bahwa penguasa tersebut
akan menjadi tumbal, tapi nanti saat munculnya budak angon.
Ketekunan
dan kesabaran budak angon dalam memperjuangkan kebenaran pada
akhirnya nanti akan berbuah manis dan mampu menepis segala keraguan akan
kebenaran amanat Prabu Siliwangi. Dengan keberanian yang dimilikinya, ia akan berhasil
membongkar kejahatan-kejahatan para penguasa negeri ini. Ia cukup berani untuk mengatakan
kebenaran secara terang-terangan kepada para penguasa yang dzalim tanpa
menghiraukan ancaman-ancaman dari mereka.
Kita
pasti tahu, bahwa sudah begitu banyak para pejuang kebenaran yang berjuang di jalan Allah
yang dipenjarakan bahkan dibunuh hanya karena menyuarakan kebenaran. Para
penguasa negeri ini dengan menggunakan legitimasi kekuasaannya berusaha untuk
menekan dan meneror para penegak kebenaran. Menurut mereka, ukuran kebenaran
kekuasaan bukan lagi hati nurani yang tunduk pada hukum-hukum Allah, tetapi adalah
apa yang dapat melanggengkan kekuasaan. Dan apapun yang telah mengancam
kekuasaannya, akan dianggapnya sebagai kesalahan yang harus diberantas habis
dengan cara-cara yang dzalim dan tindakan-tindakan yang tak bermoral.
Meski
demikian, budak angon ini tidak pernah mengindahkan larangan dan ancaman
tersebut. Dengan membawa berbagai bukti-bukti nyata, ia justru semakin berani
untuk membongkar kedok-kedok para penguasa meskipun dirinya harus berhadapan
dengan maut. Ia juga berupaya untuk membangun kesadaran masyarakat dan berjuang
sekuat tenaga untuk melepaskan bangsa ini dari cengkeraman para penjajah. Oleh
sebab itu, inilah alasan mengapa Prabu Siliwangi mengatakan bahwa penguasa
tersebut akan menjadi tumbal, tapi menunggu kemunculannya budak angon.
Kemudian,
jika suatu saat sudah muncul (dikenal) budak angon yang sudah lama
dinantikan kehadirannya oleh masyarakat Indonesia, khususnya keturunan Sunda
ini, Prabu Siliwangi mengatakan dalam wangsitnya:
“Di
situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin
besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan
menyerobot dan bertengkar. Dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar?
Memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta
bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap
terbawa-bawa. Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka hanya
memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya
uang.”
Aksi-aksi
budak angon di awal kemunculannya nanti, akan mengejutkan banyak pihak
dan menimbulkan berbagai reaksi dari lapisan masyarakat. Ia akan dianggap
membawa pengaruh dan berhasil memunculkan gerakan penyadaran dan arus kesadaran
tauhid sejati dalam masyarakat. Arus penyadaran umat dan masyarakat yang
dibangunnya akan mengakar kuat bahwa sesungguhnya para penguasa di negeri ini
adalah penjajah.
Kemudian
di situ akan banyak huru-hara; artinya setelah terbongkarnya siapa
sesungguhnya para penguasa, maka nanti akan menuai berbagai reaksi dan protes (demonstrasi)
dari masyarakat yang bermula di satu
daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Tindakan-tindakan
para penguasa lambat laun akan terungkap sehingga akan menimbulkan berbagai
kerusuhan bahkan aksi-aksi yang anarki untuk menuntut para penguasa atas
kesengsaraan rakyat yang disebabkannya.
Sedangkan,
huru-hara yang akan terjadi nanti, diyakini bahwa
kejadiannya akan lebih besar daripada tragedi Mei 1998 semasa penggulingan
Soeharto. Jika pada kerusuhan Mei 1998 yang telah menewaskan ribuan orang dan menyebabkan
banyak kerusakan material serta telah menghancurkan ribuan toko dan sejumlah mobil,
gedung-gedung perkantoran, restoran, hotel, pom bensin, kantor polisi, dan
kantor-kantor lainnya, maka pada kerusuhan (huru-hara) nanti setelah munculnya budak
angon akan lebih parah daripada tragedi Mei 1998.
Kerusuhan
tersebut akan bermula dari satu daerah atau kota di Indonesia. Kemudian,
kerusuhan itu akan meluas dan menyebar ke berbagai kota besar dengan kecepatan
yang mengerikan. Lalu, kerusuhan tersebut nantinya akan bermuara di Jakarta
yang selama ini menjadi pusat negara Indonesia. Benarkah akan terjadi revolusi di Indonesia??
Simak selengkapnya dalam Buku “TERBONGKAR: Menjawab Misteri Isi Wangsit
Siliwangi”. Buku ini secara lengkap mengupas kebenaran sejarah masa lalu dan masa
kini yang akan membuat pembaca tersadar seperti terbangun dari mimpi.
Penulis :
Gugun Sopian
Penerbit
: Pustaka Rahmat
Tebal
: 174 Halaman
Bagi yang berminat dengan buku tersebut dapat mendatangi toko-toko
buku terdekat dengan tempat tinggal anda, sebagai berikut:
- Toko Buku Toga Mas Supratman dan Toga Mas Buah Batu, Bandung
- Rumah Buku Supratman, Bandung
- Toko Buku Gelap Nyawang ITB
- Toko Buku Merauke (Cirebon, Garut, Pamanukan, Karawang, Purwakarta, Sukabumi, dan Bogor)
- Toko Buku Alinea (Griya Cinunuk, Cimahi, Griya Kuningan, dan Griya Subang)
- Toko Buku RS Borromeus
- Toko Buku Ceria, Malang
- Toko Buku Zanafa I dan Zanafa II, Pekanbaru
- Toko Buku BBC Cikutra, Palasari II, Giant Pasteur, Giant lembang, dan Giant Lampung
- Toko Buku Kisera, Jatinangor
- Toko Buku Kasidah Cinta, depan UIN Bandung
- Toko Buku IBC, depan UIN Bandung
- Toko Buku Ar-Risalah Palasari, Bandung
- Toko Buku Aldy Buku, depan UNPAD Jatinangor
- Toko Buku Rumah Ibu, Sumedang
Telah
banyak bangsa dan negara yang jauh lebih kuat yang telah tumbang dan hancur
karena menolak kebenaran yang bersumber dari hukum Allah SWT. Seharusnya, para
penguasa negeri ini bisa mengambil pelajaran dari perjalanan sejarah. Rentetan
takdir Allah yang telah terjadi sepanjang bentangan sejarah peradaban manusia
telah membuktikan bahwa semua negara dan kekuasaan yang menolak kebenaran,
apalagi menolak hukum Allah, selalu berakhir dengan kehancuran. (Gugun Sopian)
[1] Koraninternet.com, 25 Mei 2008
[2]
Indikasi ini dilaporkan Indonesian Corruption Watch (ICW) dalam Corruption Outlook, 2008.
[3]
Privatisasi adalah penjualan aset-aset negara
[4]
Menyalahgunakan kekuasaan
[5]
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, mukjizat berarti kejadian (peristiwa)
ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Contohnya, mukjizat
yang Allah berikan kepada para Nabi dan Rasul. Namun, dalam hal ini, mukjizat
yang dimaksudkan oleh Prabu Siliwangi dalam wangsitnya adalah adanya perubahan
atau perbaikan yang dikehendaki oleh rakyat menuju arah yang lebih baik yang
dapat melepaskan mereka dari belenggu kemiskinan.
[6] Media Umat, Edisi 22, 23 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar