Senin, 12 November 2018

Mengenal Diri Mengenal Allah?

Mengenal diri itu adalah "Anak Kunci" untuk Mengenal Allah. Riwayat (bukan hadits) dari salafus shalih pernah mengatakan:
MAN 'ARAFA NAFSAHU FAQAD 'ARAFA RABBAHU (Siapa yang kenal dirinya akan Mengenal Allah)
Allah SWT berfirman:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur'an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?" (QS. 41:53)
Tidak ada hal yang melebihi diri sendiri. Jika kita tidak kenal diri sendiri, bagaimana kita hendak tahu hal-hal yang lain? Yang dimaksudkan dengan Mengenal Diri itu bukanlah mengenal bentuk lahir kita, tubuh, wajah, kaki, tangan dan lain-lainnya. Dengan hanya mengenal anggota tubuh saja tidak akan membawa kita mengenal Allah. Dan bukan pula mengenal perilaku dalam diri kita yaitu bila kita lapar kemudian makan, bila dahaga lalu minum, bila marah kemudian memukul dan lain sebagainya. Jika kita bermaksud demikian, maka binatang itu sama juga dengan kita. Yang dimaksudkan sebenarnya mengenal diri itu ialah:

Apakah yang ada dalam diri kita itu?
Dari mana kita datang?
Kemana kita nanti akan pergi? Apakah tujuan kita berada dalam dunia fana ini?
Apakah sebenarnya bahagia dan apakah sebenarnya derita atau sedih?



Sebagian daripada sifat-sifat kita adalah bercorak kebinatangan. Sebagian pula bersifat Iblis dan sebagian pula bersifat Malaikat. Kita hendaklah tahu sifat yang mana perlu ada, dan yang tidak perlu. Jika kita tidak tahu, maka tidaklah kita tahu di mana letaknya kebahagiaan kita itu.
Kerja binatang ialah makan, tidur dan berkelahi ataupun beranak. Jika kita hendak jadi binatang, buatlah itu saja. Iblis dan syaitan itu sibuk hendak menyesatkan manusia, pandai menipu dan berpura-pura. Kalau kita hendak menurut mereka itu, lakukan sebagaimana kerja-kerja mereka. Malaikat sibuk dengan memikir dan memandang Keindahan Ilahi. Mereka bebas dari sifat-sifat kebinatangan.
Jika kita ingin bersifat dengan sifat KeMalaikatan, maka berusahalah menuju asal kita itu agar dapat mengenali dan menuju pada Allah Yang Maha Tinggi dan bebas dari belenggu hawa nafsu. Sebaiknya hendaklah kita tahu kenapa kita dilengkapi dengan sifat-sifat kebinatangan itu.

Adakah sifat-sifat kebinatangan itu akan menaklukkan kita atau adakah kita menaklukan mereka?. Dan dalam perjalanan kita ke atas martabat yang tinggi itu, kita akan gunakan mereka sebagai tunggangan dan sebagai senjata.

Langkah pertama untuk mengenal diri ialah mengenal bahwa kita itu terdiri dari bentuk yang zhohir, yaitu tubuh (jasad) ; dan hal yang batin yaitu Ruh dan Nafs.


Yang dimaksudkan dengan Nafs itu ialah satu hal yang dapat menggunakan semua kekuatan dan rasa, yang lain itu hanyalah sebagai alat dan kaki tangannya saja. Pada hakikat Nafs itu bukan termasuk dalam bidang Alam Nyata (Alam ajsam) tetapi adalah termasuk dalam Alam Ghaib. Ia datang ke Alam Nyata ini ibarat pengembara yang melawat negeri asing dan akhirnya kembali akan kembali juga ke negeri asalnya. Mengenal hal seperti inilah dan sifat-sifat itulah yang menjadi "Anak Kunci" untuk mengenal Allah.
Sedikit ide tentang hakikat Nafs atau Ruh ini bolehlah didapati dengan memejamkan mata dan melupakan segala hal yang lain kecuali diri sendiri. Dengan cara ini, dia akan dapat melihat tabiat atau keadaan "diri yang tidak terbatas itu". Meninjau lebih dalam tentang Ruh itu adalah dilarang oleh hukum di dalam Al-Qur'an. 

"Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ruh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Bani Israil:85)

Demikianlah sepanjang yang diketahui tentang Ruh itu dan ia adalah mutiara yang tidak dapat dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan ia termasuk dalam "Alam Amar/perintah". Ia bukanlah tanpa permulaan. Ia ada permulaan dan diciptakan oleh Allah. Pengetahuan falsafah yang tepat mengenai Ruh ini bukanlah permulaan yang harus ada dalam perjalanan Agama, tetapi adalah hasil dari disiplin diri dan berpegang teguh dalam jalan itu, seperti tersebut di dalam Al-Quran :
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (Al-Ankabut:69)

Untuk menjalankan perjuangan dalam mengendalikan Nafs ini, bagi upaya pengenalan kepada diri dan Tuhan, maka tubuh itu dapat diibaratkan sebagai sebuah Kerajaan, Nafs yang menentukan apakah kerajaan diri itu cenderung ke dalam nafs Amarah ataukah cenderung kepada Nafs Muthmainah (tenang). Pelbagai indera (senses) dan daya (fakulti) itu ibarat satu pasukan tentara. Aqal itu bisa diibaratkan sebagai Perdana Menteri. Perasaan itu ibarat Pemungut pajak, perasaan itu terus ingin merampas dan merompak. Marah itu ibarat Pegawai Polisi, marah sentiasa cenderung kepada kekasaran dan kekerasan.
Perasaan dan marah ini perlu ditundukkan dengan pengendalian nafs. Bukan dibunuh atau dimusnahkan kerana mereka ada tugas yang perlu mereka jalankan, tetapi jika perasaan dan marah menguasai Aqal, maka tentulah Nafs itu akan membuat jasad menjadi binasa. Tidak binasa di dunia, bisa jadi jasad akan dibinasakan dan disiksa di akhirat kelak yang diakibatkan oleh Nafs.
Nafs yang membiarkan kekuatan bawah menguasai kekuatan atas adalah ibarat orang orang yang menyerahkan malaikat kepada kekuasaan Anjing atau menyerahkan seorang Muslim ke tangan orang Kafir yang zalim. Orang yang menumbuh dan memelihara sifat-sifat iblis atau binatang atau Malaikat akan menghasilkan ciri-ciri atau watak yang sepadan dengannya yaitu iblis atau binatang atau Malaikat itu. Dan semua sifat-sifat atau ciri-ciri ini akan nampak dengan bentuk-bentuk yang jelas di Hari Pengadilan.
Orang yang menurut hawa nafsu nampak seperti babi, Orang yang garang dan ganas seperti anjing dan serigala,Orang yang suci seperti Malaikat. Tujuan disiplin akhlak (moral) ialah untuk membersihkan Hati dari karat-karat hawa nafsu dan amarah, sehingga ia jadi seperti cermin yang bersih yang akan memantulkan Cahaya Alloh Subhanahuwa Taala.
Mungkin ada orang bertanya,
"Jika seorang itu telah dijadikan dengan mempunyai sifat-sifat binatang, Iblis dan juga Malaikat, bagaimanakah kita hendak tahu yang sifat-sifat Malaikat itu adalah sifatnya yang hakiki dan yang lain-lain itu hanya sementara dan bukan sengaja?"
Jawabannya ialah mutiara atau inti sesuatu makhluk itu ialah dalam sifat-sifat yang paling tinggi yang ada padanya dan khusus baginya. Misalnya keledai dan kuda adalah dua jenis binatang pembawa barang-barang, tetapi kuda itu dianggap lebih tinggi darjatnya dari keledai karena kuda itu digunakan untuk peperangan. Jika ia tidak boleh digunakan dalam peperangan, maka turunlah ke bawah derajatnya kepada derajat binatang pembawa barang-barang saja.

Begitu juga dengan manusia; daya yang paling tinggi padanya ialah ia bisa berfikir yaitu Aqal. Dengan fikiran itu dia dapat memikirkan hal-hal Ketuhanan. Jika daya berfikir ini yang meliputi dirinya, maka bila ia mati (bercerai nyawa dari tubuh) , ia akan meninggalkan di belakang semua kecenderungan pada hawa nafsu dan marah, dan layak duduk bersama dengan Malaikat. Jika berkenaan dengan sifat-sifat Kebinatangan, maka manusia itu lebih rendah tarafnya dari binatang, tetapi Aqal menjadikan manusia itu lebih tinggi tarafnya, kerana Al-Quran ada menerangkan bahwa,
"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan." (Luqman:20)
Jika sifat-sifat yang rendah itu menguasai Nafs manusia, maka setelah mati, ia akan memandang terhadap keduniaan dan merindukan keindahan di dunia saja.
Nafs manusia yang berakal itu penuh dengan kekuasaan dan pengetahuan yang sangat menakjubkan. Dengan Nafs Yang Berakal itu manusia dapat menguasai segala cabang ilmu dan Sains. Dapat mengembara dari bumi ke langit dan balik semula ke bumi dalam sekejap mata. Dapat memetakan langit dan mengukur jarak antara bintang-bintang. Dengan Nafs itu juga manusia dapat menangkap ikan ikan dari laut dan burung-burung dari udara. Menundukkan binatang-binatang untuk tunduk kepadanya seperti gajah, unta dan kuda.
Lima indera (pancaindera) manusia itu adalah ibarat lima buah pintu terbuka menghadap ke Alam Nyata (Alam Syahadah) ini. Dalam keadaan tidur, apabila pintu-pintu dunia tertutup, pintu Nafs ini terbuka dan manusia menerima berita atau kesan-kesan dari Alam Ghaib dan kadang-kadang membayangkan hal-hal yang akan datang. Maka Nafs nya adalah ibarat cermin yang memantulkan (bayangan) apa yang tergambar di Lauhul Mahfuz. Tetapi meskipun dalam tidur, pikiran tentang hal-hal keduniaan akan menggelapkan cermin ini. maka gambaran yang diterimanya tidaklah terang. Setelah lepasnya nyawa dengan tubuh (mati), Fikiran-fikiran tersebut hilang sirna dan segala sesuatu terlihatlah dalam keadaan yang sebenarnya.
Firman Alloh dalam Al-Quran :
"Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (Qaaf:22).
Wallahu 'alam..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar