Berbicara mengenai sisi kehidupan dan jejak
perjalanan Prabu Siliwangi sejatinya begitu erat kaitannya dengan sejarah
perkembangan Islam di Indonesia. Namun, sejak lama dan berabad-abad lamanya
para penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah demi kepentingan kekuasaan
dan berupaya mengkaburkan fakta yang sebenarnya. Tujuan yang paling utamanya
adalah mereka berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil
tentang peranan umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang telah sebagian besar mereka lenyapkan dalam buku-buku sejarah.
Para
penjajah dengan sengaja menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju
tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Menurut mereka, datangnya Islam
tidaklah memberikan perkembangan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Bahkan
dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis dengan cara merubah
sejarah yang sebenarnya. Contohnya
adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, menurut mereka bahwa Prabu Siliwangi demi
mempertahankan keyakinan Hindunya, ia berubah menjadi harimau yang sering muncul
di hutan larangan yang bernama hutan Saronge di Gunung Salak. Bahkan, melalui tapa
brata
dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi ini bisa diundang datang kapan saja,
mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Sehingga
Prabu Siliwangi seakan-akan dilukiskan sebagai seorang pemeluk agama Hindu
sejati. Bahkan lebih tragis lagi, beliau diceritakan oleh mereka sebagai tokoh
yang menolak dan memerangi agama Islam. Demikian cerita seterusnya dan
seterusnya hingga berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng masyarakat
terutama di Jawa Barat.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6006448474938561"
crossorigin="anonymous"></script>
Saya
berani katakan bahwa itu semua tidak benar. Mereka berusaha mendustakan sejarah
diatas kompromi kekuasaan dan kepentingan agama tertentu. Sedangkan sejarah
aslinya telah mereka tukar, mereka telah mencuri sejarah yang asli dan menjualnya
lalu menukarnya dengan kebohongan. Dan hal ini telah dikatakan oleh Prabu
Siliwangi dalam sebagian isi wangsitnya:
“Laju
turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu
laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain
mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon!”(Suatu
saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun
dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak
yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita
banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti).
Betapa
beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah
daging tentang hal ini. Akibat dari mendapatkan pengetahuan sejarah yang sesat
pastilah akan membentuk pola pikir yang sesat pula pada sebagian masyarakat
Indonesia khususnya masyarakat di tatar Sunda.
Demikian
kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan
meskipun sesungguhnya mereka sendiri yang telah menyimpang. Bukan karena
diakibatkan kebodohan masyarakat, melainkan para penguasa yang sengaja menyembunyikan
cerita sebenarnya dan menyebarkan fitnah, kebohongan sekaligus propaganda
penyesatan. Tujuannya jelas agar tak mengganggu kepentingan kekuasaan kelompok
mereka sehingga masyarakat Indonesia khususnya keturunan Sunda banyak yang tak
menyadarinya.
Salah
satu ungkapan Prabu Siliwangi dalam wangsitnya disebutkan pula bahwa kalau pada
suatu saat nanti akan ada yang menelusuri sejarah Sunda yang sebenarnya. Walaupun
sekian banyak tumpukan sejarah yang sudah dipalsukan, pasti suatu saat kita
akan bisa mengenali mana cerita sejarah yang direkayasa dan mana sejarah yang
sesuai dengan masanya.
Dengan
demikian, semakin banyak terbongkarnya keaslian cerita sejarah sesungguhnya,
maka akan banyak pula masyarakat yang sadar seperti halnya mereka terbangun
dari mimpi. Inilah yang dimaksud dengan hulunya. Bilamana kita memahami dan
mengenal hulunya dengan tepat, maka hilirnya pun tidak akan tersesat.
Saya
betul-betul yakin pada keturunan Sunda dan masyarakat Indonesia umumnya,
diantara mereka masih banyak orang-orang
yang berhati bersih, ikhlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum
mereka memutuskan hal itu benar, kurang tepat atau malah salah besar dalam
menilai sesuatu terutama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah
ummat Islam di Indonesia yang ada korelasinya dengan sejarah Kerajaan Pajajaran
yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi.
Dusta! Prabu Siliwangi Bukanlah Pengikut Agama Hindu
Saat
masih berusia muda, Prabu Siliwangi terkenal sebagai ksatria pemberani dan
tangkas. Pada waktu mudanya beliau lebih dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa
yang diasuh oleh ua
nya yang bernama Ki Gedeng Sendangkasih. Selain sebagai juru pelabuhan Muara
Jati, Ki Gedeng Sendangkasih juga merupakan raja muda di Surantaka.
Ketika
Raden Pamanah Rasa menginjak usia dewasa, beliau menikah dengan putri Ki Gedeng
Sendangkasih yang bernama Nyai Ambetkasih. Dengan menikahi putrinya tersebut,
Raden Pamanah Rasa ditunjuk sebagai pengganti Ki Gedeng Sendangkasih menjadi
raja muda Surantaka. Dari pernikahan
antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ambetkasih ini tidak mempunyai keturunan.
Kemudian
Raden Pamanah Rasa menikah dengan Nyai Subanglarang, seorang muslimah yang
merupakan putri dari Ki Gedeng Tapa. Nyai Subanglarang dijadikannya sebagai istri
yang kedua. Pada waktu Raden Pamanah Rasa memperistri Nyai Subanglarang, beliau
belum diberikan gelar Prabu Wangi. Namun, setelah beliau menikah dengan istri
ketiganya yakni Nyai Kentring Manik Mayang Sunda, barulah ia dijuluki Prabu
Wangi sesudah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh.
Dari
pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Subanglarang inilah yang membuat
perubahan dan mengukir sejarah baru di Kerajaan Pajajaran yang berpengaruh
hingga kini. Pertemuan diantara keduanya tatkala Prabu Wastu Kencana
memerintahkan untuk mengirim utusan menuju Muara jati Cirebon yang tersiar
kabar berita tentang dakwah Syeikh Hasanuddin.
Asal
mulanya Syeikh Hasanuddin datang ke Cirebon bersama Armada Angkatan Laut
Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Laksamana Muslim Cheng Ho pada
waktu itu ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo (Dinasti Ming 1363-1644) untuk
memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara
(1405-1430) yang membawa 62 kapal dan 27.000 pasukan muslim yang salah satunya
adalah Syeikh Hasanuddin.
Syeikh
Hasanuddin merupakan putra dari seorang ulama besar Perguruan Islam di Campa
yang bernama Syeikh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syeikh
Jamaluddin serta Syeikh Jalaluddin, ulama besar Makkah yang masih keturunan
dari Sayyidina Ali r.a dan Siti Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah
seorang ulama yang hafidz al-Qur’an serta ahli Qira’at yang sangat merdu
suaranya.
Dikisahkan
bahwa setelah Syeikh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya
beliau pulang ke Campa dengan menempuh perjalanan melewati daerah Martasinga,
Pasambangan dan Jayapura hingga melalui pelabuhan Muara Jati. Di Muara Jati,
Syeikh Hasanuddin berkunjung kembali ke Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Cirebon yang
dulu pernah dikunjunginya bersama Laksamana Cheng Ho.
Kedatangan
ulama besar yang ahli Qira’at tersebut, disamping karena perubahan tatanan
dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam. Pada saat itu sudah
mulai banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon. Mereka
semua merupakan kapal niaga dari Timur Tengah, India dan Cina Islam yang
memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon terhadap Islam. Karenanya kedatangan
Syeikh Hasanuddin disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa.
Ketika
kunjungan yang cukup lama itu berlangsung, Ki Gedeng Tapa dan anaknya Nyai
Subanglarang serta masyarakat Syahbandar Muara Jati merasa tertarik dengan
suara lantunan ayat suci al-Qur’an. Syeikh Hasanuddin, selain berniaga tapi
juga beliau mempunyai tujuan yang mulia yaitu mendakwahkan ajaran-ajaran Islam
hingga akhirnya banyak warga yang memeluk agama Islam.
Penyebaran
agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Hasanuddin di Muara Jati Cirebon yang pada
saat itu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh, rupanya sangat mencemaskan
Prabu Wastu Kencana. Beliau melarang dan memerintahkan agar dakwahnya
dihentikan. Perintah dari raja Sunda-Galuh tersebut dipatuhi oleh Syeikh
Hasanuddin.
Setelah
ada perintah pelarangan itu, kemudian Syeikh Hasanuddin mohon diri kepada Ki
Gedeng Tapa. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas
peristiwa itu sebab sebenarnya Ki Gedeng Tapa sendiri masih ingin menambah
pengetahuannya tentang agama Islam. Oleh karena itu, sebagai wujud
kesungguhannya terhadap agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai
Subanglarang dititipkan kepada Syeikh Hasanuddin untuk belajar mengaji dan
memperdalam ajaran agama Islam di Campa.
Beberapa
waktu lamanya berada di Campa, kemudian Syeikh Hasanuddin membulatkan tekad
untuk kembali lagi ke wilayah kerajaan Sunda-Galuh. Dorongan semangat dakwahnya
tak pantang menyerah. Sesuai dengan namanya Hasanuddin, baginya dakwah
merupakan kewajiban dan tugas mulia yang harus senantiasa dijalankan demi
kebaikan agamanya. Beliau mempersiapkan dua perahu dagang dan memuat rombongan
para santrinya yang diantaranya adalah Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana
Madzkur, Syeikh Abdillah Dargom dan juga seorang muslimah yaitu Nyai
Subanglarang.
Sekitar
tahun 1416 M, sesudah rombongan kapal Syeikh Hasanuddin memasuki Laut Jawa dan
Sunda Kelapa lalu memasuki Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut
digunakan sebagai pintu keluar masuk para pedagang ke negeri Sunda-Galuh. Akhirnya
rombongan kapal itu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang dimana
kegiatan pemerintahan ada dalam kewenangan jabatan Dalem.
Setiba
disana, para rombongan sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan
sehingga aparat setempat pun sama-sama menghormati keberadaan mereka. Atas
dasar saling menghargai dan menghormati ini, aparat setempat memberikan izin
untuk mendirikan dibangunnya sebuah Mushola pada
sekitar tahun 1418. Mushola yang mereka bangun bukan hanya dijadikan sebagai
sarana untuk ibadah tapi juga sekaligus sebagai tempat tinggal mereka.
Seiring
berjalannya waktu, Syeikh Hasanuddin tak pernah berhenti untuk menyampaikan
dakwahnya di Mushola yang dibangunnya itu. Karena uraian dan cara penyampaian
dakwahnya mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat di Pelabuhan Karawang,
banyak sekali yang tertarik dengan ajaran Islam. Ahli Qira’at ini sering
mengumandangkan suara Qorinya yang khas dan merdu. Sama halnya yang dilakukan
oleh para santrinya yaitu Nyai Subanglarang, Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana
Madzkur dan juga Syeikh Abdullah Dargom alias Syeikh Maghribi yang merupakan
keturunan dari Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. Dengan pengaruh kemerduan suara
alunan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan Syeikh Hasanuddin, setiap harinya
banyak masyarakat Karawang yang menyatakan diri untuk memeluk agama Islam.
Masyarakat Karawang pun menjuluki Syeikh Hasanuddin ini dengan sebutan Syeikh
Quro.
Sejak
berdirinya pesantren Pondok Quro, banyak masyarakat dari pesisir utara yang
tertarik dan mengikuti ajaran agama baru (Islam) dan meninggalkan agama yang
lama (Sunda Wiwitan). Banyak pula yang sengaja datang ke tempat itu untuk
menimba ilmu agama Islam.
Berita
tentang banyaknya masyarakat yang memeluk agama Islam, rupanya telah terdengar
kembali oleh Prabu Wastu Kencana yang sebelumnya pernah melarang Syeikh Quro melakukan
kegiatan yang sama tatkala di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Prabu Wastu Kencana
mengirim utusan yang dipimpin oleh raja muda Surantaka yang bernama Raden
Pamanah Rasa untuk menutup dan menghentikan kegiatan Syeikh Quro.
Dari
peristiwa inilah bermula yang nantinya dapat merubah keyakinan Raden Pamanah
Rasa sekaligus akan mencatat sejarah baru perubahan besar Kerajaan Pajajaran
pada masa kepemimpinannya. Kejadian ini bukan hanya pemicu timbulnya arus
gelombang ajaran Islam, tapi juga sebagai mata rantai hilangnya Kerajaan
Pajajaran hingga kini. Hal ini bukan dikarenakan adanya campur tangan ghaib
atau hanya kebetulan semata, tapi semua itu telah di-skenario-kan oleh Sang
Maha Sutradara Allah SWT dan menjadikannya sebagai asrar
yang suatu saat nanti pasti akan terungkap.
Tatkala
raja muda Surantaka ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh
alunan suara merdu ayat-ayat al-Qur’an yang dilantunkan oleh Nyai Subanglarang.
Raden Pamanah Rasa itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syeikh
Quro. Saking terpesonanya kepada Nyai Subanglarang, tanpa ragu-ragu lagi Raden
Pamanah Rasa menyatakan isi hatinya untuk meminang Nyai Subanglarang yang selain
cantik, cerdas dan juga bertutur kata yang baik. Tak
mengherankan kalau Nyai Subanglarang ini menjadi rebutan antara Raden Pamanah
Rasa dan seorang penguasa di Astana Japura, Amuk Murugul.
Terjadilah
pertempuran sengit antara mereka berdua. Ketinggian ilmu bela diri Amuk Murugul
diimbangi dengan kesaktian Raden Pamanah Rasa. Kehebatan jurus beradu dengan
jurus yang sama hebatnya karena mereka berdua sama-sama merupakan penguasa dan
juga keturunan Raja Sunda.
Namun,
dalam hal ini tentu Allah SWT mempunyai rencana lain dari sayembara
memperebutkan Nyai Subanglarang itu harus ada pemenangnya. Dalam satu
kesempatan Raden Pamanah Rasa akhirnya bisa mengalahkan Amuk Murugul dan ia pun
mengakui kehebatan lawannya dan bersedia mengaku kalah sekaligus takluk pada
kehebatan Raden Pamanah Rasa.
Setelah
selesai pertempuran itu, Raden Pamanah Rasa segera meminang Nyai Subanglarang. Tetapi,
Nyai Subanglarang akan menerima pinangan dari Raden Pamanah Rasa asal dengan
mengajukan tiga permintaan sebagai mas kawinnya.
Permintaan
pertama ialah beliau menginginkan bentang saketi atau ada juga
yang menyebutkan Lintang Kerti Jejer Seratus yang tak lain adalah tasbih
yang mengandung makna secara simbolis bahwa beliau akan tetap konsisten memeluk
agama Islam dan melakukan wirid sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang
muslimah yang taat akan tetap melaksanakan syariat Islam dengan
sungguh-sungguh. Permohonan kesatu Nyai Subanglarang ini disanggupi oleh
Raden Pamanah Rasa. Kemudian, atas petunjuk Syeikh Quro, raja muda Surantaka
ini pun segera pergi ke Mekkah untuk mencari tasbih.
Di
tanah suci Mekkah, Raden Pamanah Rasa disambut oleh Syeikh Maulana Ja’far
Shiddiq. Beliau merasa kaget yang bercampur rasa heran ketika Syeikh itu telah
mengetahui akan kedatangan beliau sebelum dirinya tiba disana. Selain itu,
beliau pun terkejut saat nama dan keturunannya diketahui oleh Syeikh Ja’far
Shiddiq meski sebelumnya tak pernah mengenali Raden Pamanah Rasa.
Syeikh
Ja’far Shiddiq bersedia akan membantu mencarikan bentang saketi dengan
syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Karena kecintaannya terhadap
Nyai Subanglarang, beliau pun akhirnya mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang
tentunya bermakna pengakuan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang
wajib disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Semenjak itulah, Raden
Pamanah Rasa memeluk agama Islam dan diberikan bentang saketi oleh
Syeikh Ja’far Shiddiq sebagai mas kawin untuk menikah dengan Nyai Subanglarang.
Namun
perlu diketahui, bahwa meskipun Raden Pamanah Rasa telah mengucapkan Dua Kalimah
Syahadat saat di Mekkah itu, ternyata Raden Pamanah Rasa setelah dinobatkan
menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh yang nantinya dirubah menjadi kerajaan
Pajajaran olehnya dan diberikan gelar Sri Baduga Maharaja yang dijuluki Prabu
Siliwangi ini, tetap menjadikan agama resmi kerajaan Pajajaran yang dianut saat
itu adalah Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan karena beliau ingin mempertahankan
ajaran-ajaran dan tradisi dari leluhur-leluhurnya.
Ajaran
Sunda Wiwitan merupakan ajaran warisan dari leluhur sunda yang dijunjung tinggi
dan menitikberatkan pada kesejahteraan. Agama Sunda Wiwitan tidak mensyaratkan
untuk membangun tempat peribadatan khusus. Oleh karena itu, maka sisa-sisa peninggalan
yang berupa Pura ataupun Candi hampir tidak diketemukan di Jawa Barat tidak
seperti di Jawa Tengah.
Permintaan
Nyai Subanglarang yang kedua adalah kelak jika mempunyai keturunan, maka
anak-anaknya harus memeluk agama Islam dan tidak memeluk agama Sunda Wiwitan.
Jika anaknya laki-laki harus jadi muslim, dan jika anaknya perempuan harus
menjadi muslimah. Raden Pamanah Rasa pun mengabulkan permohonan yang kedua ini
dan menepati janjinya tersebut tatkala anak-anaknya telah lahir.
Dari
pernikahan dengan Nyai Subanglarang ini, Raden Pamanah Rasa dikaruniai tiga
orang anak yang ideal yaitu Prabu Anom Walangsungsang yang lahir pada tahun
1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426
M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raden Raja Sanggara yang lahir pada
tahun 1428 M.
Pernikahan
antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ratu Subanglarang memang telah membawa
hikmah yang sangat besar dan Syeikh Quro memegang peranan penting dalam
masuknya pengaruh ajaran Islam ke dalam kerajaan Pajajaran. Inilah kehendak
Allah SWT yang tidak dapat dihalang-halang meski kerajaan Pajajaran merupakan
kerajaan besar yang menjunjung tinggi ajaran leluhurnya, Sunda Wiwitan.
Para
putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subanglarang yang muslimah itu,
memancarkan sinar iman dan Islam bagi ummat di Negeri Pajajaran. Perbedaan yang
mencolok antara seorang Ibu Subanglarang dengan istri-istri Prabu Siliwangi
yang lainnya adalah keunggulan dalam hal mendidik anak-anaknya. Beliau mencerminkan
sosok ibu yang sangat ideal dan dikenang hingga kini oleh sebagian masyarakat
Bogor. Ibu Subanglarang lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu, bukan Nyai
Roro Kidul yang telah diyakini selama ini oleh sebagian masyarakat disana.
Melihat
kondisi Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu masih menganut Sunda Wiwitan dan
sebagai agama resmi kerajaan, Nyai
Subanglarang merasa tidak mungkin bisa mengajarkan Islam kepada putra-putrinya
sendirian. Oleh karena itu, ia berencana untuk mengirim putra pertamanya yang
bernama Raden Walangsungsang berguru kepada seorang Ulama Thoriqoh, Syeikh Nur
Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Nur Jati. Beliau adalah
seorang mubaligh asal Baghdad yang memilih bermukim di pelabuhan Muara Jati dan
mendirikan perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
Setelah
Raden Walangsungsang melewati usia remaja bersama adik perempuannya yaitu
Nyimas Rarasantang, mereka berdua diizinkan untuk meninggalkan Istana Pakuan
Pajajaran dan menimba ilmu di perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Sedangkan
anak ketiganya, Raja Sanggara menuntut ilmu agama Islam dan mengembara hingga
ke Timur Tengah.
Kepergian
dan tujuan anak-anaknya ini jelas telah mendapatkan restu dari Prabu Siliwangi.
Tidak mungkin jika tanpa izin dari beliau yang sebagai ayahandanya mereka. Pemberian
izin dan restu kepada anak-anaknya ini merupakan bentuk penepatan janjinya
kepada Nyai Subanglarang ketika beliau hendak meminangnya kala itu yang meminta
anak-anak Nyai Subanglarang tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Prabu Siliwangi
merupakan sosok tipikal pemimpin yang selalu menepati janji-janjinya kepada
siapapun terlebih kepada istrinya meskipun keinginannya sudah tercapai. Berbeda
halnya dengan pemimpin saat ini yang hanya pandai mengobral janji, namun setelah
maksud dan tujuannya terlaksana, mereka seakan-akan lupa atau sengaja melupakan
janji-janjinya yang manis itu.
Selanjutnya,
permintaan Nyai Subanglarang yang ketiga adalah menginginkan
keturunannya kelak harus menjadi seorang raja. Permintaan yang terakhir ini pun
dikabulkan oleh Prabu Siliwangi demi kesungguhan cintanya terhadap Nyai Subanglarang
yang cantik dan cerdas itu.
Prabu
Anom Walangsungsang yang merupakan anak pertama mereka menjadi bukti atas
realisasi janji Prabu Siliwangi terhadap permintaan Nyai Subanglarang. Sejarah
mencatat bahwa Prabu Anom Walangsungsang merupakan pendiri sekaligus sebagai
pemimpin Nagari Caruban Larang atas restu dari ayahandanya dan memberikannya
gelar Sri Mangana.
Nagari
Caruban Larang dahulunya merupakan sebuah pedukuhan yang daerahnya bernama
Tegal Alang-alang. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan Prabu Anom
Walangsungsang menunjukan hasil yang gemilang atas dukungan dan petunjuk dari
gurunya, Syeikh Nur Jati yang merupakan peletak dasar Islam di Nagari Caruban
Larang dan sangat berjasa dalam penyebaran Islam disana. Semakin maju hingga
setiap hari banyak orang yang berdatangan untuk mempelajari Islam dan memilih
menetap di Nagari Caruban Larang.
Dalam
waktu singkat Nagari Caruban Larang telah terkenal hampir ke seluruh Tanah
Jawa. Prabu Anom Walangsungsang yang dijuluki Pangeran Cakrabuana ini telah
cukup berhasil dalam menyebarkan agama Islam dan membangun pemerintahannya
dengan massive. Hal tentang semakin meluasnya penyebaran agama Islam di wilayah
kerajaan Pajajaran tersebut telah terdengar oleh Prabu Siliwangi. Meskipun
ajaran Islam telah masuk dan mempengaruhi sebagian masyarakat Kerajaan
Pajajaran, Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah melarang kegiatan penyebaran
agama Islam. Beliau malah memberi keleluasaan kepada masyarakatnya untuk
memilih agama menurut keyakinan mereka. Hal
ini disebabkan bukan hanya Prabu Siliwangi memiliki hati yang tulus dan telah
ber-Syahadat, tapi juga karena Nyai Subanglarang yang sebagai istri keduanya
serta anak-anaknya pun memeluk agama Islam.
Meskipun
demikian, Nagari Caruban Larang pada masa kepemimpinan Pangeran Cakrabuana
masih belum menjadi negeri yang mandiri dan masih berada dibawah kekuasaan
Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, Prabu Siliwangi
memberikan gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana bukan sebagai
tanda pengakuan kedaulatan, melainkan hanya sebagai raja daerah yang tetap
dalam posisi bawahan Pakuan Pajajaran.
Namun,
setelah peralihan kekuasaan Nagari Caruban Larang dari Pangeran Cakrabuana kepada
Syarif Hidayatullah dan mendirikan Kesultanan Pakungwati, Cirebon barulah
menjadi Kesultanan yang mempunyai kedaulatan. Syarif Hidayatullah ini merupakan
anak dari Nyimas Rarasantang adiknya Pangeran Cakrabuana. Beliau dinobatkan
menjadi Sultan Cirebon atau Susuhunan Jati setelah ia menikahi anak dari
Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati yang masih sama-sama merupakan cucu
Prabu Siliwangi.
Dari
keturunan Prabu Siliwangi dari istrinya Subanglarang ini telah banyak
melahirkan para ulama-ulama besar agama Islam di Jawa Barat yang diantaranya
menjadi salah satu dari Wali Songo yakni yang dikenal dengan sebutan Sunan
Gunung Djati yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah. Mereka semua keturunan
dari Nyai Subanglarang dan telah mengukir catatan sejarah serta dikenang
sebagai para pejuang dan penyebar agama Islam di Tatar Sunda atau wilayah
Kerajaan Pajajaran. Karena, memang sejatinya sejarah Pajajaran itu begitu erat
kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa
Barat.
Tidak
akan ada Cirebon kalau tidak ada Nyai Subanglarang. Sebab sejarah tatar Sunda
tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan hidup seorang muslimah sejati ini.
Pada saat menikah dengan Prabu Siliwangi, Nyai Subanglarang lantas diboyong
oleh suaminya untuk tinggal di Bogor yang ketika itu merupakan pusat
pemerintahan Pakuan Pajajaran.
Dengan
demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan Prabu Siliwangi sebagai seorang
Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan agama
lamanya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari para penjajah Belanda dan para
penguasa buta yang mempunyai kepentingan kekuasaan dan kepentingan agama
tertentu sehingga berupaya untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa
Indonesia karena kebusukan hati mereka.
Tanggapan
terhadap mereka yang mengatakan Prabu Siliwangi beragama Hindu
Perihal
keyakinan yang dianut oleh Prabu
Siliwangi selama ini seakan-akan selalu mengundang ragam pertanyaan dan rasa
penasaran sehingga menimbulkan perdebatan diantara masyarakat Sunda yang tak
pernah berakhir hingga kini. Ada yang masih mengatakan bahwa Prabu Siliwangi
masih tetap dengan keyakinan agamanya yang lama, antara Hindu ataupun Sunda
Wiwitan. Namun, ada pula yang meyakini bahwa Prabu Siliwangi telah memeluk agama Islam alias
beliau adalah seorang Muslim.
Disini
saya sebagai penulis akan mencoba menjelaskannya secara ringkas dan menyesuaikannya
dengan perjalanan sejarah yang sebenarnya, bukan sejarah yang sudah direkayasa
oleh para penjajah juga para penguasa ataupun mereka yang mempunyai kepentingan
kelompok ataupun agama tertentu. Adapun perkataan mereka adalah sebagai
berikut:
§ Mereka
mengatakan, “Bahwa Prabu Siliwangi merupakan pemeluk agama Hindu Sejati dan bahwa
sesungguhnya Prabu Siliwangi serta Kerajaannya Pajajaran rela menghilang dari
kehidupan nyata hanya karena demi mempertahankan kepercayaannya, yakni agama
Hindu ataupun Sunda Wiwitan.”
§ Mereka juga
mengatakan sangat tragis, “Bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan
Pajajaran untuk menyerang Kesultanan Pakungwati Cirebon karena telah
menyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.”
§ Mereka
mengatakan pula bahwa, “Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama
Islam, keturunannya hanyalah Prabu Surawisesa yang merupakan anak dari Nyai
Kentring Manik Mayang Sunda”.
Saya
sebagai penulis masih mempunyai harapan dan sangat yakin pada keturunan Sunda
yang tidak terpengaruh dengan dongeng-dongeng sesat di atas. Apa yang mereka
katakan hanyalah upaya pendistorsian atas sejarah demi mengkaburkan fakta yang
sebenarnya dan berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil
tentang peranan ummat Islam selama ratusan tahun silam di Indonesia yang telah
sebagian besar mereka lenyapkan.
Oleh
karena itu, tidak ada alasan untuk tidak membantahnya karena saya khawatir akan
lebih banyak lagi yang tersesat terutama pada generasi sunda selanjutnya secara
turun temurun. Maka secara ringkas saya katakan:
Tanggapan Pertama, Adapun mereka yang
mengatakan Prabu Siliwangi sebagai pemeluk agama Hindu sejati rela menghilang
dari kehidupan nyata demi mempertahankan keyakinannya adalah mereka yang tidak
mempunyai dasar. Menurut hemat saya, ketika Prabu Siliwangi hendak menikahi
Nyai Subanglarang bahwa secara logika dan menurut sisi hukum Syari’at Islam
bukan berdasarkan hasil terawangan ataupun penelusuran batin yang salah kaprah,
jika seorang non muslim hendak menikahi wanita atau pria yang beragama Islam
maka ia yang non muslim apapun agamanya terlebih dahulu harus mengucapkan Dua
Kalimah Syahadat sebelum akad pernikahannya dilangsungkan.
Di
dalam ajaran agama Islam, tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita
muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ para ulama
menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik
dari kalangan musyrikin; Budha, Hindu, Majusi, ataupun dari kalangan Ahlul
Kitab; Yahudi dan Nashrani. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
“Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min)
sebelum mereka beriman”.(Q.S
Al-Baqarah: 221)
Dalam
ayat di atas, Allah SWT melarang para wali perempuan (ayah, kakek, saudara,
paman, dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan
wanita yang menjadi tanggungjawabnya dengan laki-laki non muslim.
Kondisi
tersebut sama persis kedudukannya saat peristiwa dimana seorang non muslim dalam
hal ini adalah Prabu Siliwangi yang akan menikahi seorang muslimah, Nyai
Subanglarang. Maka hukum Islam diatas sangat berlaku baginya meski beliau
merupakan seorang raja harus tunduk pada syari’at Islam. Apalagi yang menikahkan
mereka adalah seorang ulama besar yakni Syeikh Quro. Sangat tidak mungkin jika
hukum syari’at Islam tidak diketahuinya atau tidak diterapkan sebagaimana
mestinya. Inilah fakta yang mempunyai dasar, bukan hanya menurut “konon
katanya”.
Tanggapan Kedua, mereka
mengatakan bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan Pajajaran untuk
menyerang Kesultanan Cirebon karena telah menyebarkan agama Islam di wilayah
Pajajaran. Ini adalah perkataan mereka yang sangat tidak relevan dengan
sejarah.
Menurut
naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 menceritakan bahwa pada
tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah yang
merupakan cucu Prabu Siliwangi dari anaknya Nyimas Rarasantang, dinobatkan oleh
Pangeran Cakrabuana sebagai Susuhunan Jati pada Kesultanan Pakungwati.
Ketika
itu Prabu Siliwangi baru saja menempati Istana Sang Bhima, kemudian diberitakan
bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk
menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta
60 anggota prajuritnya yang dikirim dari Pakuan Pajajaran menuju Cirebon, tidak
mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Hal ini membuat Jagabaya dan
pasukannya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya
sangat besar.
Peristiwa
itu membangkitkan kemarahan Prabu Siliwangi. Pasukan besar segera disiapkan
untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi, pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh
Purohita
keraton Ki Purwa Galih. Purohita itu mengatakan bahwa Cirebon merupakan
daerah warisan dari anaknya sendiri terhadap cucunya, Pangeran Cakrabuana
kepada Syarif Hidayatullah. Bagaimana nanti tanggapan dari negeri-negeri
sahabat jika seorang kakek menyerang anak dan cucunya sendiri. Maka alasan
pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Prabu Siliwangi.
Keadaan
bertambah tegang ketika hubungan Demak dan Cirebon semakin dikukuhkan dengan
perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat
mencemaskan Prabu Siliwangi. Sedangkan Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati
tetap menghormati Prabu Siliwangi karena masing-masing sebagai ayah dan kakek.
Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke
arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan.
Sejatinya
ketidaksenangan Prabu Siliwangi bukan terhadap Kesultanan Cirebon yang telah
berhasil menyebarkan agama Islam, melainkan karena hubungan Demak yang terlalu
akrab dengan Cirebon. Terhadap agama Islam, ia sendiri tidak membencinya,
karena salah satu dari istrinya pun adalah seorang pemeluk agama Islam yakni
Nyai Subanglarang.
Dalam
sumber sejarah Carita Parahyangan, pemerintahan pada masa Prabu
Siliwangi dilukiskan sebagai berikut:
“Purbatisi
purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba
di sanghiyang siksa”. (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga
tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang
sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari
naskah tersebut dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak masyarakat
atau rakyat Pajajaran yang meninggalkan agama lama (Sunda Wiwitan) dan beralih
memeluk agama Islam. Jadi, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa
Kerajaan Pajajaran menyerang Cirebon disebabkan karena kebencian Prabu
Siliwangi terhadap Islam. Justru merekalah yang mengatakan demikian itu karena
kebencian mereka terhadap Islam dan menyebarkan dongeng-dongeng penuh
kebohongan dan kepalsuan. Adapun saya disini tidak bercerita dongeng yang
terlahir dari hasil imaginasi dangkal, melainkan saya berbicara mengenai fakta
sejarah yang sudah tercatat.
Tanggapan ketiga, ada yang mengatakan
bahwa Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama Islam. Saya pernah
berbincang-bincang dengan salah satu penganut keyakinan Sunda Wiwitan di zaman sekarang
ini, menurutnya salah satu anak Prabu
Siliwangi dari Nyai Subanglarang yang paling terkenal bernama Ki Hyang Santang
itu hanyalah tokoh fiktif yang diada-adakan. Begitupun anak-anak Nyai
Subanglarang yang lain itu tak pernah ada.
Menurut
saya, perkataan mereka hanyalah merupakan propaganda penyesatan dan berusaha
mengkaburkan bukti-bukti peninggalan yang ada. Sedangkan, sangat begitu jelas dalam
catatan sejarah dikatakan, bahwa dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai
Subanglarang ini dikaruniai tiga orang anak. Masing-masing yaitu Prabu Anom
Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas
Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah
Raden Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
Dari
pernikahan Nyimas Rarasantang dengan raja Mesir yang masih ada garis keturunan
dari Bani Ismail bernama Sultan Syarif Abdullah lahirlah Syarif Hidayatullah
dan Syarif Nurullah. Nyimas Rarasantang pada waktu itu, setelah menikah dengan
raja Mesir berganti nama menjadi
Syarifah Mudaim yang sekarang makamnya berada di Cirebon bersama kakaknya,
Pangeran Cakrabuana (Prabu Anom Walangsungsang). Selain itu, Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Djati) pun dimakamkan di tempat yang sama. Sedangkan makam Raden
Sanggara yang menurut masyarakat Garut beliau adalah Ki Hyang Santang atau Sunan
Rohmat dimakamkan di Godog, Garut.
Dari
Syarif Hidayatullah, keturunan-keturunan Prabu Siliwangi menyebar hampir ke seluruh
wilayah di Jawa Barat, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Makam-makam
keturunannya yang berada di tiap-tiap daerah inilah sebagai tanda bukti bahwa
mereka pernah hidup dan bukan tokoh fiktif seperti yang dikatakan oleh mereka
yang berusaha menyesatkan orang-orang Islam dan keturunan-keturunan tanah
Sunda.
Pertanyaan
sederhana untuk mereka, jika memang benar bahwa anak-anak Prabu Siliwangi dari
Nyai Subanglarang itu tidak pernah ada dan dianggap sosok yang diada-adakan,
lantas keturunan siapakah gerangan Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) yang
termasuk salah satu dari Wali Songo itu? Dari mana asalnya Pangeran Cakrabuana,
Nyimas Rarasantang, dan Raden Sanggara (Sunan
Rohmat) jika mereka bukan keturunan dari Prabu Siliwangi? Percayakah
mereka semua terlahir ke dunia tanpa ada yang melahirkan sementara bukti-bukti
makam mereka masih ada?
Meskipun
nama-nama mereka tidak tertulis di dalam Batu Tulis dan bukan penulis di Batu
Tulis, tapi sejatinya merekalah yang telah banyak memberikan perubahan besar dan
mengubah haluan kemusyrikan menuju ke-tauhid-an di tanah Jawa Barat.
Memang
saya disini mengakui bahwa Prabu Siliwangi setelah dinobatkan menjadi Raja Kerajaan
Sunda-Galuh yang kemudian dirubahnya menjadi Kerajaan Pajajaran menjadikan
agama resmi kerajaannya yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Akan tetapi,
yang terpenting disini adalah bahwa Prabu Siliwangi telah ber-Syahadat dan
mengakui bahwa “Tiada Tuhan Selain
Allah”. Mana mungkin jika Prabu Siliwangi bukan seorang muslim sementara
anak-anak dan keturunannya menjadi para wali Allah dan menjadi ulama-ulama
besar Islam pada zamannya masing-masing. Kecuali anak Prabu Siliwangi dari Nyai
Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Prabu Surawisesa inilah yang tetap
setia dengan agamanya yang kemudian diagungkan oleh para penganut Sunda Wiwitan
hingga kini.
Perlu
diketahui, bahwa kerajaan Pajajaran yang dahulu kala menganut ajaran Sunda
Wiwitan, kelak akan lenyap dan tidak akan pernah berdiri lagi, sebab akan digantikan
dengan kerajaan Pajajaran yang baru, yakni Pajajaran yang menganut ajaran
Islam; Pasundan Islam. Hal ini telah disampaikan oleh Prabu Siliwangi dalam
sebagian wangsitnya:
“Dia
mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engke jagana jembar senang mugih
mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran. Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran
anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obahna zaman; Pilih: ngaing moal
ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, heunteu pantes jadi raja amun somah
sakabehna lapar bae jeung balangsak.” (Kalian boleh memilih untuk
hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa
mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini (penganut Sunda Wiwitan) tapi Pajajaran yang baru (Pasundan Islam) yang berdiri oleh perjalanan
waktu! Pilih! Aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja jika
rakyatnya lapar dan miskin).
Wallahu 'Alam. (Gugun Sopian)