Anak
merupakan amanat yang besar dari Allah SWT. Mendidiknya bukan pekerjaan yang
remeh, melatihnya dengan norma-norma Islam bukanlah pekerjaan yang sampingan,
tapi tanggungjawab yang diemban oleh kedua orang tua. Jalan melatihnya
memerlukan prioritas yang harus diutamakan. Membesarkan anak perlu pengorbanan,
kesabaran, dan keahlian. Tidak hanya sekedar dibesarkan fisik dan akalnya saja.
Jauh lebih utama dari itu, seorang murabbi bertanggungjawab mengenalkan anak
kepada Rabb-nya. Tugas dan kewajiban orang tua adalah menjadikannya orang yang
taat, tunduk dan patuh kepada Allah semata. Sehingga terjaga dari api neraka
dan mempersiapkan mereka menjadi penghuni surga. Allah SWT berfirman:
“Wahai
orang-orang yang beriman, Jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api
Neraka” (QS. At-Tahrim: 6)
Hal
yang sangat penting yang harus diketahui oleh orang tua adalah mengetahui masa
yang tepat pada anak dalam membentuk karakter mereka. Masa kanak-kanak ini
merupakan fase yang paling subur, paling panjang, dan dominan untuk menanamkan
norma-norma yang mapan dan arahan yang bersih ke dalam jiwa anak-anak didik.
Berbagai kesempatan bagi orang tua dan semua potensi tersedia secara melimpah
dalama fase ini, yaitu dengan adanya fitrah yang bersih. Semakin bertambah usia
anak, maka akan semakin sulit mendidiknya.
Bilamana
masa ini bisa dimanfaatkan oleh orang tua secara maksimal, tentu harapan besar
untuk berhasil akan mudah diraih pada masa mendatang. Sehingga, kelak akan
menjadi seorang pemuda yang tahan menghadapi berbagai macam tantangan,
bertakwa, kokoh, kuat lagi tegar. Allah SWT berfirman:
“Dan
mereka orang-orang yang berkata, ‘wahai Rabb kami, karuniakanlah kepada kami
pasangan-pasangan dan keturunan kami penyejuk mata dan jadikanlah kami pemimpin
bagi orang-orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Furqon: 74)
Jauh
sebelum mendidik anak, Allah SWT dan Rasul-Nya memerintahkan kepada kita agar
lebih berhati-hati dalam memilih pasangan, karena itu awal mula sebuah
pendidikan bagi keturunan. Rasulullah SAW bersabda:
“Pilih-pilih
buat menitipkan nuthfah (benih) kalian, nikahilah orang-orang yang sekufu
(sepadan) dan nikahkanlah di antara sesama mereka.” (HR.
Ibnu Majah)
Rasulullah
SAW begitu konkret mengajarkan kita bagaimana mendidik anak ketika masih berupa
nuthfah. Ketika Abu Thalhah r.a mengadukan kepada Rasulullah SAW tentang sikap
istrinya saat anaknya meninggal, Rasul pun mendoakan keberkahan bagi keduanya
dalam pertemuannya malam itu, beliau bersabda:
“Semoga
Allah memberkahi kalian berdua pada malam kalian itu” (HR.
Muslim)
Begitu
pula ketika datang kepada beliau seorang wanita dari kalangan Bani Juhainah
meminta dirajam karena melanggar had, hukumannya ditangguhkan sampai
melahirkan. Dalam riwayat lain: hingga menyusuinya dua tahun.
Begitu
luar biasanya perhatian Islam terhadap janin, bahkan seorang ibu hamil
diperbolehkan berbuka puasa di bulan Ramadhan bila khawatir dengan kesehatan
janinnya. Bayi yang meninggal atau prematur lalu meninggal merupakan kabar
gembira bagi para ibu yang mengandungnya, karena kedudukan mereka di sisi Allah
SWT yang dapat mengantarkan ibunya ke Jannah. Rasulullah bersabda:
“Demi
Allah yang diriku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya siqhti (bayi premature
yang gugur) benar-benar akan menarik ibunya ke dalam Jannah dengan pusarnya
bila sang ibu rela dengan kehilangannnya” (HR. Ibnu
Majah)
Ketika
bayi lahir, maka akal dan fisiknya belum berfungsi secara sempurna, baik
penglihatan, pendengaran, maupun penciuman. Namun, sentuhan begitu sensitive,
sangat kuat sekali, sehingga begitu di sentuh merespon dengan baik terutama
bagian tangan dan mulutnya. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan oleh orang tua
kepada anak mulai sejak kelahirannya adalah sebagai berikut:
- Men-Tahnik-nya[1], memberi nama, meng-aqiqahi, mencukur rambutnya
Dari
sinilah kita mengetahui bagaimana Rasulullah SAW memperlakukan seorang bayi.
Men-tahnik, memberikan nama yang
baik, dirayakan (sebagai bentuk syukur) dengan aqiqah, dan mencukur rambutnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap bayi digadaikan oleh
aqiqahnya yang disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, lalu dicukur dan
diberi nama” (HR. Tirmidzi).
- Bercengkrama dengan anak kecil
Pada
usia satu tahun seorang anak memerlukan perhatian yang lebih besar.
Bercengkrama dengannya merupakan sebuah sikap yang dicontohkan Rasulullah SAW
terhadap cucunya Al Hasan Ibnu Ali. Abu Hurairah r.a telah meriwayatkan,
Rasulullah SAW keluar menuju pasar Bani Qainuqa, beliau berjalan mengelilingi
pasar seraya berpegangan tanganku, kemudian duduk-duduk di Mesjid, lalu
bertanya, “Mana si kecil yang lucu itu?
Panggilkanlah dia untuk datang kepadaku!” Al Hasan pun datang dengan
berlari, lalu langsung melompat ke pangkuannya. Rasulullah SAW mencium
mulutnya, kemudian berdo’a: “Ya Allah,
sesungguhnya aku mencintainya, maka cintailah ia dan cintailah siapa yang
mencintainya” (HR. Muslim)
- Meng-Khitan anak
Abu
Hurairah r.a telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi SAW bersabda: “Fitrah itu ada lima, yaitu berkhitan,
mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak”.
(HR. Bukhari)
- Memangku anak di saat mereka sakit
Usamah
ibnu Zaid telah mengatakan, dahulu Nabi SAW pernah mengambilku dan
mendudukkanku di atas sebelah pahanya dan mendudukkan Al Hasan Ibnu Ali di atas
sebelah pahanya yang lain, kemudian beliau memeluk kami berdua, lalu berdo’a: “Ya Allah, sayangilah keduanya karena
sesungguhnya aku menyayangi keduanya”(HR. Bukhari)
- Mempercepat shalat karena mendengar tangisan anak
Nabi
SAW bersabda: “sesungguhnya bila aku
shalat dan bermaksud memperpanjangnya, lalu kudengar suara tangisan anak, maka
terpaksa aku mempercepat shalatku, karena aku menyadari bahwa ibunya pasti
terganggu oleh tangisan anaknya itu”. (HR. Bukhari dan Muslim)
- Membiarkan anak dalam gendongan meski dalam shalat
Diriwayatkan
oleh Abu Qatadah Al Anshari yang telah menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah
shalat sembari menggendong Umamah, putri Zainab dari hasil pernikahannya dengan
Abul ‘Ash ibnu Rabi’ah ibnu Abdu Syams, sedang Zainab sendiri adalah putri Rasul
SAW. Apabila sujud, beliau meletakkan cucunya itu ke tanah dan apabila bangun,
beliau menggendongnya kembali.
Demikianlah
Islam begitu indah dalam memperlakukan seorang anak yang masih kecil, sehingga
untuk urusan shalat pun tidak menjadi alasan untuk menyia-nyiakannya.
(Gugun Sopian - Penulis Best Seller)
(Gugun Sopian - Penulis Best Seller)
[1]
Mengunyah kurma dan sejenisnya, lalu digosok-gosokkan ke dalam langit-langit
mulut bayi, yakni dengan cara meletakkan kurma yang sudah dikunyah di ujung
jari, lalu memasukkan jari itu ke dalam mulut si bayi lalu si bayi pun belajar
makan dan akhirnya mampu melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar