Sabtu, 11 Januari 2014

Prabu Siliwangi Adalah Muslim



Berbicara mengenai sisi kehidupan dan jejak perjalanan Prabu Siliwangi sejatinya begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Namun, sejak lama dan berabad-abad lamanya para penjajah melakukan pendistorsian atas sejarah demi kepentingan kekuasaan dan berupaya mengkaburkan fakta yang sebenarnya. Tujuan yang paling utamanya adalah mereka berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil tentang peranan umat Islam selama ratusan tahun dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang telah sebagian besar mereka lenyapkan dalam buku-buku sejarah. 


            Para penjajah dengan sengaja menggambarkan betapa bangsa Indonesia menjadi maju tatkala diperintah raja-raja Hindu dan Budha. Menurut mereka, datangnya Islam tidaklah memberikan perkembangan dan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Bahkan dalam kondisi zaman sekarang pun kehinduan itu tetap eksis dengan cara merubah sejarah yang sebenarnya.  Contohnya adalah penulisan sejarah Prabu Siliwangi, menurut mereka bahwa Prabu Siliwangi demi mempertahankan keyakinan Hindunya, ia berubah menjadi harimau yang sering muncul di hutan larangan yang bernama hutan Saronge di Gunung Salak. Bahkan, melalui tapa brata[1] dan ritual-ritual khusus Prabu Siliwangi ini bisa diundang datang kapan saja, mungkin menghadiri resepsi atau syukuran atas maksud-maksud tertentu. Sehingga Prabu Siliwangi seakan-akan dilukiskan sebagai seorang pemeluk agama Hindu sejati. Bahkan lebih tragis lagi, beliau diceritakan oleh mereka sebagai tokoh yang menolak dan memerangi agama Islam. Demikian cerita seterusnya dan seterusnya hingga berkembang dalam tradisi lisan dan dongeng masyarakat terutama di Jawa Barat.

<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-6006448474938561"
     crossorigin="anonymous"></script>
           

Saya berani katakan bahwa itu semua tidak benar. Mereka berusaha mendustakan sejarah diatas kompromi kekuasaan dan kepentingan agama tertentu. Sedangkan sejarah aslinya telah mereka tukar, mereka telah mencuri sejarah yang asli dan menjualnya lalu menukarnya dengan kebohongan. Dan hal ini telah dikatakan oleh Prabu Siliwangi dalam sebagian isi wangsitnya:

“Laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon!”(Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa zaman sudah berganti).

            Betapa beratnya merubah pandangan dan pengetahuan masyarakat yang sudah mendarah daging tentang hal ini. Akibat dari mendapatkan pengetahuan sejarah yang sesat pastilah akan membentuk pola pikir yang sesat pula pada sebagian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat di tatar Sunda.
            Demikian kuatnya sehingga hal-hal yang baru akan dianggapnya sebagai sebuah penyimpangan meskipun sesungguhnya mereka sendiri yang telah menyimpang. Bukan karena diakibatkan kebodohan masyarakat, melainkan para penguasa yang sengaja menyembunyikan cerita sebenarnya dan menyebarkan fitnah, kebohongan sekaligus propaganda penyesatan. Tujuannya jelas agar tak mengganggu kepentingan kekuasaan kelompok mereka sehingga masyarakat Indonesia khususnya keturunan Sunda banyak yang tak menyadarinya.
            Salah satu ungkapan Prabu Siliwangi dalam wangsitnya disebutkan pula bahwa kalau pada suatu saat nanti akan ada yang menelusuri sejarah Sunda yang sebenarnya. Walaupun sekian banyak tumpukan sejarah yang sudah dipalsukan, pasti suatu saat kita akan bisa mengenali mana cerita sejarah yang direkayasa dan mana sejarah yang sesuai dengan masanya.         
            Dengan demikian, semakin banyak terbongkarnya keaslian cerita sejarah sesungguhnya, maka akan banyak pula masyarakat yang sadar seperti halnya mereka terbangun dari mimpi. Inilah yang dimaksud dengan hulunya. Bilamana kita memahami dan mengenal hulunya dengan tepat, maka hilirnya pun tidak akan tersesat.
            Saya betul-betul yakin pada keturunan Sunda dan masyarakat Indonesia umumnya, diantara mereka  masih banyak orang-orang yang berhati bersih, ikhlas mendengarkan dan menyimak dengan cermat sebelum mereka memutuskan hal itu benar, kurang tepat atau malah salah besar dalam menilai sesuatu terutama berkaitan dengan realitas dan fakta penulisan sejarah ummat Islam di Indonesia yang ada korelasinya dengan sejarah Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi.

Dusta! Prabu Siliwangi Bukanlah Pengikut Agama Hindu
            Saat masih berusia muda, Prabu Siliwangi terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas. Pada waktu mudanya beliau lebih dikenal dengan nama Raden Pamanah Rasa yang diasuh oleh ua[2] nya yang bernama Ki Gedeng Sendangkasih. Selain sebagai juru pelabuhan Muara Jati, Ki Gedeng Sendangkasih juga merupakan raja muda di Surantaka.
            Ketika Raden Pamanah Rasa menginjak usia dewasa, beliau menikah dengan putri Ki Gedeng Sendangkasih yang bernama Nyai Ambetkasih. Dengan menikahi putrinya tersebut, Raden Pamanah Rasa ditunjuk sebagai pengganti Ki Gedeng Sendangkasih menjadi raja muda Surantaka.[3] Dari pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ambetkasih ini tidak mempunyai keturunan.
            Kemudian Raden Pamanah Rasa menikah dengan Nyai Subanglarang, seorang muslimah yang merupakan putri dari Ki Gedeng Tapa. Nyai Subanglarang dijadikannya sebagai istri yang kedua. Pada waktu Raden Pamanah Rasa memperistri Nyai Subanglarang, beliau belum diberikan gelar Prabu Wangi. Namun, setelah beliau menikah dengan istri ketiganya yakni Nyai Kentring Manik Mayang Sunda, barulah ia dijuluki Prabu Wangi sesudah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh.[4]
            Dari pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyai Subanglarang inilah yang membuat perubahan dan mengukir sejarah baru di Kerajaan Pajajaran yang berpengaruh hingga kini. Pertemuan diantara keduanya tatkala Prabu Wastu Kencana memerintahkan untuk mengirim utusan menuju Muara jati Cirebon yang tersiar kabar berita tentang dakwah Syeikh Hasanuddin.  
            Asal mulanya Syeikh Hasanuddin datang ke Cirebon bersama Armada Angkatan Laut Tiongkok yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. Laksamana Muslim Cheng Ho pada waktu itu ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo (Dinasti Ming 1363-1644) untuk memimpin misi muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan Nusantara (1405-1430) yang membawa 62 kapal dan 27.000 pasukan muslim yang salah satunya adalah Syeikh Hasanuddin. 
            Syeikh Hasanuddin merupakan putra dari seorang ulama besar Perguruan Islam di Campa yang bernama Syeikh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syeikh Jamaluddin serta Syeikh Jalaluddin, ulama besar Makkah yang masih keturunan dari Sayyidina Ali r.a dan Siti Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah seorang ulama yang hafidz al-Qur’an serta ahli Qira’at yang sangat merdu suaranya.
            Dikisahkan bahwa setelah Syeikh Hasanuddin menunaikan tugasnya di Malaka, selanjutnya beliau pulang ke Campa dengan menempuh perjalanan melewati daerah Martasinga, Pasambangan dan Jayapura hingga melalui pelabuhan Muara Jati. Di Muara Jati, Syeikh Hasanuddin berkunjung kembali ke Ki Gedeng Tapa, Syahbandar Cirebon yang dulu pernah dikunjunginya bersama Laksamana Cheng Ho.
            Kedatangan ulama besar yang ahli Qira’at tersebut, disamping karena perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang dipengaruhi oleh Islam. Pada saat itu sudah mulai banyak kapal niaga muslim yang berlabuh di pelabuhan Cirebon. Mereka semua merupakan kapal niaga dari Timur Tengah, India dan Cina Islam yang memungkinkan tumbuhnya rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar  Cirebon terhadap Islam. Karenanya kedatangan Syeikh Hasanuddin disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa.
            Ketika kunjungan yang cukup lama itu berlangsung, Ki Gedeng Tapa dan anaknya Nyai Subanglarang serta masyarakat Syahbandar Muara Jati merasa tertarik dengan suara lantunan ayat suci al-Qur’an. Syeikh Hasanuddin, selain berniaga tapi juga beliau mempunyai tujuan yang mulia yaitu mendakwahkan ajaran-ajaran Islam hingga akhirnya banyak warga yang memeluk agama Islam. 
            Penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Hasanuddin di Muara Jati Cirebon yang pada saat itu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda-Galuh, rupanya sangat mencemaskan Prabu Wastu Kencana. Beliau melarang dan memerintahkan agar dakwahnya dihentikan. Perintah dari raja Sunda-Galuh tersebut dipatuhi oleh Syeikh Hasanuddin.
            Setelah ada perintah pelarangan itu, kemudian Syeikh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa sendiri sangat prihatin atas peristiwa itu sebab sebenarnya Ki Gedeng Tapa sendiri masih ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam. Oleh karena itu, sebagai wujud kesungguhannya terhadap agama Islam, putri Ki Gedeng Tapa yang bernama Nyai Subanglarang dititipkan kepada Syeikh Hasanuddin untuk belajar mengaji dan memperdalam ajaran agama Islam di Campa.
            Beberapa waktu lamanya berada di Campa, kemudian Syeikh Hasanuddin membulatkan tekad untuk kembali lagi ke wilayah kerajaan Sunda-Galuh. Dorongan semangat dakwahnya tak pantang menyerah. Sesuai dengan namanya Hasanuddin, baginya dakwah merupakan kewajiban dan tugas mulia yang harus senantiasa dijalankan demi kebaikan agamanya. Beliau mempersiapkan dua perahu dagang dan memuat rombongan para santrinya yang diantaranya adalah Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana Madzkur, Syeikh Abdillah Dargom dan juga seorang muslimah yaitu Nyai Subanglarang.    
            Sekitar tahun 1416 M, sesudah rombongan kapal Syeikh Hasanuddin memasuki Laut Jawa dan Sunda Kelapa lalu memasuki Kali Citarum yang waktu itu di Kali tersebut digunakan sebagai pintu keluar masuk para pedagang ke negeri Sunda-Galuh. Akhirnya rombongan kapal itu singgah di Pura Dalam atau Pelabuhan Karawang dimana kegiatan pemerintahan ada dalam kewenangan jabatan Dalem.
            Setiba disana, para rombongan sangat menjunjung tinggi peraturan kota Pelabuhan sehingga aparat setempat pun sama-sama menghormati keberadaan mereka. Atas dasar saling menghargai dan menghormati ini, aparat setempat memberikan izin untuk mendirikan dibangunnya sebuah Mushola[5] pada sekitar tahun 1418. Mushola yang mereka bangun bukan hanya dijadikan sebagai sarana untuk ibadah tapi juga sekaligus sebagai tempat tinggal mereka.
            Seiring berjalannya waktu, Syeikh Hasanuddin tak pernah berhenti untuk menyampaikan dakwahnya di Mushola yang dibangunnya itu. Karena uraian dan cara penyampaian dakwahnya mudah dipahami dan dimengerti oleh masyarakat di Pelabuhan Karawang, banyak sekali yang tertarik dengan ajaran Islam. Ahli Qira’at ini sering mengumandangkan suara Qorinya yang khas dan merdu. Sama halnya yang dilakukan oleh para santrinya yaitu Nyai Subanglarang, Syeikh Abdul Rahman, Syeikh Maulana Madzkur dan juga Syeikh Abdullah Dargom alias Syeikh Maghribi yang merupakan keturunan dari Sayyidina Utsman bin ‘Affan r.a. Dengan pengaruh kemerduan suara alunan ayat suci al-Qur’an yang dilantunkan Syeikh Hasanuddin, setiap harinya banyak masyarakat Karawang yang menyatakan diri untuk memeluk agama Islam. Masyarakat Karawang pun menjuluki Syeikh Hasanuddin ini dengan sebutan Syeikh Quro. 
            Sejak berdirinya pesantren Pondok Quro, banyak masyarakat dari pesisir utara yang tertarik dan mengikuti ajaran agama baru (Islam) dan meninggalkan agama yang lama (Sunda Wiwitan). Banyak pula yang sengaja datang ke tempat itu untuk menimba ilmu agama Islam. 
            Berita tentang banyaknya masyarakat yang memeluk agama Islam, rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Wastu Kencana yang sebelumnya pernah melarang Syeikh Quro melakukan kegiatan yang sama tatkala di Pelabuhan Muara Jati Cirebon. Prabu Wastu Kencana mengirim utusan yang dipimpin oleh raja muda Surantaka yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup dan menghentikan kegiatan Syeikh Quro. 
            Dari peristiwa inilah bermula yang nantinya dapat merubah keyakinan Raden Pamanah Rasa sekaligus akan mencatat sejarah baru perubahan besar Kerajaan Pajajaran pada masa kepemimpinannya. Kejadian ini bukan hanya pemicu timbulnya arus gelombang ajaran Islam, tapi juga sebagai mata rantai hilangnya Kerajaan Pajajaran hingga kini. Hal ini bukan dikarenakan adanya campur tangan ghaib atau hanya kebetulan semata, tapi semua itu telah di-skenario-kan oleh Sang Maha Sutradara Allah SWT dan menjadikannya sebagai asrar[6] yang suatu saat nanti pasti akan terungkap. 
            Tatkala raja muda Surantaka ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat al-Qur’an yang dilantunkan oleh Nyai Subanglarang. Raden Pamanah Rasa itu pun mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syeikh Quro. Saking terpesonanya kepada Nyai Subanglarang, tanpa ragu-ragu lagi Raden Pamanah Rasa menyatakan isi hatinya untuk meminang Nyai Subanglarang yang selain cantik, cerdas dan juga bertutur kata yang baik.[7] Tak mengherankan kalau Nyai Subanglarang ini menjadi rebutan antara Raden Pamanah Rasa dan seorang penguasa di Astana Japura, Amuk Murugul.
            Terjadilah pertempuran sengit antara mereka berdua. Ketinggian ilmu bela diri Amuk Murugul diimbangi dengan kesaktian Raden Pamanah Rasa. Kehebatan jurus beradu dengan jurus yang sama hebatnya karena mereka berdua sama-sama merupakan penguasa dan juga keturunan Raja Sunda.
            Namun, dalam hal ini tentu Allah SWT mempunyai rencana lain dari sayembara memperebutkan Nyai Subanglarang itu harus ada pemenangnya. Dalam satu kesempatan Raden Pamanah Rasa akhirnya bisa mengalahkan Amuk Murugul dan ia pun mengakui kehebatan lawannya dan bersedia mengaku kalah sekaligus takluk pada kehebatan Raden Pamanah Rasa.   
            Setelah selesai pertempuran itu, Raden Pamanah Rasa segera meminang Nyai Subanglarang. Tetapi, Nyai Subanglarang akan menerima pinangan dari Raden Pamanah Rasa asal dengan mengajukan tiga permintaan sebagai mas kawinnya. 
            Permintaan pertama ialah beliau menginginkan bentang saketi atau ada juga yang menyebutkan Lintang Kerti Jejer Seratus yang tak lain adalah tasbih yang mengandung makna secara simbolis bahwa beliau akan tetap konsisten memeluk agama Islam dan melakukan wirid sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai seorang muslimah yang taat akan tetap melaksanakan syariat Islam dengan sungguh-sungguh. Permohonan kesatu Nyai Subanglarang ini disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa. Kemudian, atas petunjuk Syeikh Quro, raja muda Surantaka ini pun segera pergi ke Mekkah untuk mencari tasbih.[8]
            Di tanah suci Mekkah, Raden Pamanah Rasa disambut oleh Syeikh Maulana Ja’far Shiddiq. Beliau merasa kaget yang bercampur rasa heran ketika Syeikh itu telah mengetahui akan kedatangan beliau sebelum dirinya tiba disana. Selain itu, beliau pun terkejut saat nama dan keturunannya diketahui oleh Syeikh Ja’far Shiddiq meski sebelumnya tak pernah mengenali Raden Pamanah Rasa.
            Syeikh Ja’far Shiddiq bersedia akan membantu mencarikan bentang saketi dengan syarat harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat. Karena kecintaannya terhadap Nyai Subanglarang, beliau pun akhirnya mengucapkan Dua Kalimah Syahadat yang tentunya bermakna pengakuan kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang wajib disembah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Semenjak itulah, Raden Pamanah Rasa memeluk agama Islam dan diberikan bentang saketi oleh Syeikh Ja’far Shiddiq sebagai mas kawin untuk menikah dengan Nyai Subanglarang.
            Namun perlu diketahui, bahwa meskipun Raden Pamanah Rasa telah mengucapkan Dua Kalimah Syahadat saat di Mekkah itu, ternyata Raden Pamanah Rasa setelah dinobatkan menjadi penguasa kerajaan Sunda-Galuh yang nantinya dirubah menjadi kerajaan Pajajaran olehnya dan diberikan gelar Sri Baduga Maharaja yang dijuluki Prabu Siliwangi ini, tetap menjadikan agama resmi kerajaan Pajajaran yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Hal ini disebabkan karena beliau ingin mempertahankan ajaran-ajaran dan tradisi dari leluhur-leluhurnya.
            Ajaran Sunda Wiwitan merupakan ajaran warisan dari leluhur sunda yang dijunjung tinggi dan menitikberatkan pada kesejahteraan. Agama Sunda Wiwitan tidak mensyaratkan untuk membangun tempat peribadatan khusus. Oleh karena itu, maka sisa-sisa peninggalan yang berupa Pura ataupun Candi hampir tidak diketemukan di Jawa Barat tidak seperti di Jawa Tengah.[9]
            Permintaan Nyai Subanglarang yang kedua adalah kelak jika mempunyai keturunan, maka anak-anaknya harus memeluk agama Islam dan tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Jika anaknya laki-laki harus jadi muslim, dan jika anaknya perempuan harus menjadi muslimah. Raden Pamanah Rasa pun mengabulkan permohonan yang kedua ini dan menepati janjinya tersebut tatkala anak-anaknya telah lahir.    
            Dari pernikahan dengan Nyai Subanglarang ini, Raden Pamanah Rasa dikaruniai tiga orang anak yang ideal yaitu Prabu Anom Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raden Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
            Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dan Nyai Ratu Subanglarang memang telah membawa hikmah yang sangat besar dan Syeikh Quro memegang peranan penting dalam masuknya pengaruh ajaran Islam ke dalam kerajaan Pajajaran. Inilah kehendak Allah SWT yang tidak dapat dihalang-halang meski kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar yang menjunjung tinggi ajaran leluhurnya, Sunda Wiwitan.
            Para putra-putri yang dikandung oleh Nyai Subanglarang yang muslimah itu, memancarkan sinar iman dan Islam bagi ummat di Negeri Pajajaran. Perbedaan yang mencolok antara seorang Ibu Subanglarang dengan istri-istri Prabu Siliwangi yang lainnya adalah keunggulan dalam hal mendidik anak-anaknya. Beliau mencerminkan sosok ibu yang sangat ideal dan dikenang hingga kini oleh sebagian masyarakat Bogor. Ibu Subanglarang lah yang biasa disebut dengan nama Ibu Ratu, bukan Nyai Roro Kidul yang telah diyakini selama ini oleh sebagian masyarakat disana.
            Melihat kondisi Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu masih menganut Sunda Wiwitan dan sebagai  agama resmi kerajaan, Nyai Subanglarang merasa tidak mungkin bisa mengajarkan Islam kepada putra-putrinya sendirian. Oleh karena itu, ia berencana untuk mengirim putra pertamanya yang bernama Raden Walangsungsang berguru kepada seorang Ulama Thoriqoh, Syeikh Nur Kahfi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Nur Jati. Beliau adalah seorang mubaligh asal Baghdad yang memilih bermukim di pelabuhan Muara Jati dan mendirikan perguruan Islam Gunung Jati Cirebon.
            Setelah Raden Walangsungsang melewati usia remaja bersama adik perempuannya yaitu Nyimas Rarasantang, mereka berdua diizinkan untuk meninggalkan Istana Pakuan Pajajaran dan menimba ilmu di perguruan Islam Gunung Jati Cirebon. Sedangkan anak ketiganya, Raja Sanggara menuntut ilmu agama Islam dan mengembara hingga ke Timur Tengah.
            Kepergian dan tujuan anak-anaknya ini jelas telah mendapatkan restu dari Prabu Siliwangi. Tidak mungkin jika tanpa izin dari beliau yang sebagai ayahandanya mereka. Pemberian izin dan restu kepada anak-anaknya ini merupakan bentuk penepatan janjinya kepada Nyai Subanglarang ketika beliau hendak meminangnya kala itu yang meminta anak-anak Nyai Subanglarang tidak memeluk agama Sunda Wiwitan. Prabu Siliwangi merupakan sosok tipikal pemimpin yang selalu menepati janji-janjinya kepada siapapun terlebih kepada istrinya meskipun keinginannya sudah tercapai. Berbeda halnya dengan pemimpin saat ini yang hanya pandai mengobral janji, namun setelah maksud dan tujuannya terlaksana, mereka seakan-akan lupa atau sengaja melupakan janji-janjinya yang manis itu. 
            Selanjutnya, permintaan Nyai Subanglarang yang ketiga adalah menginginkan keturunannya kelak harus menjadi seorang raja. Permintaan yang terakhir ini pun dikabulkan oleh Prabu Siliwangi demi kesungguhan cintanya terhadap Nyai Subanglarang yang cantik dan cerdas itu.
            Prabu Anom Walangsungsang yang merupakan anak pertama mereka menjadi bukti atas realisasi janji Prabu Siliwangi terhadap permintaan Nyai Subanglarang. Sejarah mencatat bahwa Prabu Anom Walangsungsang merupakan pendiri sekaligus sebagai pemimpin Nagari Caruban Larang atas restu dari ayahandanya dan memberikannya gelar Sri Mangana.
            Nagari Caruban Larang dahulunya merupakan sebuah pedukuhan yang daerahnya bernama Tegal Alang-alang. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan Prabu Anom Walangsungsang menunjukan hasil yang gemilang atas dukungan dan petunjuk dari gurunya, Syeikh Nur Jati yang merupakan peletak dasar Islam di Nagari Caruban Larang dan sangat berjasa dalam penyebaran Islam disana. Semakin maju hingga setiap hari banyak orang yang berdatangan untuk mempelajari Islam dan memilih menetap di Nagari Caruban Larang.  
            Dalam waktu singkat Nagari Caruban Larang telah terkenal hampir ke seluruh Tanah Jawa. Prabu Anom Walangsungsang yang dijuluki Pangeran Cakrabuana ini telah cukup berhasil dalam menyebarkan agama Islam dan membangun pemerintahannya dengan massive. Hal tentang semakin meluasnya penyebaran agama Islam di wilayah kerajaan Pajajaran tersebut telah terdengar oleh Prabu Siliwangi. Meskipun ajaran Islam telah masuk dan mempengaruhi sebagian masyarakat Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah melarang kegiatan penyebaran agama Islam. Beliau malah memberi keleluasaan kepada masyarakatnya untuk memilih agama menurut keyakinan mereka.[10] Hal ini disebabkan bukan hanya Prabu Siliwangi memiliki hati yang tulus dan telah ber-Syahadat, tapi juga karena Nyai Subanglarang yang sebagai istri keduanya serta anak-anaknya pun memeluk agama Islam.      
            Meskipun demikian, Nagari Caruban Larang pada masa kepemimpinan Pangeran Cakrabuana masih belum menjadi negeri yang mandiri dan masih berada dibawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Hal ini dikarenakan pada waktu itu, Prabu Siliwangi memberikan gelar Sri Mangana kepada Pangeran Cakrabuana bukan sebagai tanda pengakuan kedaulatan, melainkan hanya sebagai raja daerah yang tetap dalam posisi bawahan Pakuan Pajajaran.
            Namun, setelah peralihan kekuasaan Nagari Caruban Larang dari Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah dan mendirikan Kesultanan Pakungwati, Cirebon barulah menjadi Kesultanan yang mempunyai kedaulatan. Syarif Hidayatullah ini merupakan anak dari Nyimas Rarasantang adiknya Pangeran Cakrabuana. Beliau dinobatkan menjadi Sultan Cirebon atau Susuhunan Jati setelah ia menikahi anak dari Pangeran Cakrabuana, Nyimas Pakungwati yang masih sama-sama merupakan cucu Prabu Siliwangi.
            Dari keturunan Prabu Siliwangi dari istrinya Subanglarang ini telah banyak melahirkan para ulama-ulama besar agama Islam di Jawa Barat yang diantaranya menjadi salah satu dari Wali Songo yakni yang dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Djati yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah. Mereka semua keturunan dari Nyai Subanglarang dan telah mengukir catatan sejarah serta dikenang sebagai para pejuang dan penyebar agama Islam di Tatar Sunda atau wilayah Kerajaan Pajajaran. Karena, memang sejatinya sejarah Pajajaran itu begitu erat kaitannya dengan sejarah perkembangan Islam di Indonesia, khususnya di Jawa Barat.
            Tidak akan ada Cirebon kalau tidak ada Nyai Subanglarang. Sebab sejarah tatar Sunda tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjalanan hidup seorang muslimah sejati ini. Pada saat menikah dengan Prabu Siliwangi, Nyai Subanglarang lantas diboyong oleh suaminya untuk tinggal di Bogor yang ketika itu merupakan pusat pemerintahan Pakuan Pajajaran.
            Dengan demikian tidaklah benar cerita yang menyatakan Prabu Siliwangi sebagai seorang Hindu, bahkan rela meninggalkan istananya hanya untuk mempertahankan agama lamanya. Cerita ini sesungguhnya berasal dari para penjajah Belanda dan para penguasa buta yang mempunyai kepentingan kekuasaan dan kepentingan agama tertentu sehingga berupaya untuk mengaburkan peran Islam dalam sejarah bangsa Indonesia karena kebusukan hati mereka. 

Tanggapan terhadap mereka yang mengatakan Prabu Siliwangi beragama Hindu
            Perihal keyakinan yang dianut oleh  Prabu Siliwangi selama ini seakan-akan selalu mengundang ragam pertanyaan dan rasa penasaran sehingga menimbulkan perdebatan diantara masyarakat Sunda yang tak pernah berakhir hingga kini. Ada yang masih mengatakan bahwa Prabu Siliwangi masih tetap dengan keyakinan agamanya yang lama, antara Hindu ataupun Sunda Wiwitan. Namun, ada pula yang meyakini bahwa Prabu  Siliwangi telah memeluk agama Islam alias beliau adalah seorang Muslim.
            Disini saya sebagai penulis akan mencoba menjelaskannya secara ringkas dan menyesuaikannya dengan perjalanan sejarah yang sebenarnya, bukan sejarah yang sudah direkayasa oleh para penjajah juga para penguasa ataupun mereka yang mempunyai kepentingan kelompok ataupun agama tertentu. Adapun perkataan mereka adalah sebagai berikut:  
§  Mereka mengatakan, “Bahwa Prabu Siliwangi merupakan pemeluk agama Hindu Sejati dan bahwa sesungguhnya Prabu Siliwangi serta Kerajaannya Pajajaran rela menghilang dari kehidupan nyata hanya karena demi mempertahankan kepercayaannya, yakni agama Hindu ataupun Sunda Wiwitan.”
§  Mereka juga mengatakan sangat tragis, “Bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan Pajajaran untuk menyerang Kesultanan Pakungwati Cirebon karena telah menyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.” 
§  Mereka mengatakan pula bahwa, “Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama Islam, keturunannya hanyalah Prabu Surawisesa yang merupakan anak dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda”.

            Saya sebagai penulis masih mempunyai harapan dan sangat yakin pada keturunan Sunda yang tidak terpengaruh dengan dongeng-dongeng sesat di atas. Apa yang mereka katakan hanyalah upaya pendistorsian atas sejarah demi mengkaburkan fakta yang sebenarnya dan berusaha untuk menghilangkan fakta yang benar-benar faktuil tentang peranan ummat Islam selama ratusan tahun silam di Indonesia yang telah sebagian besar mereka lenyapkan.
            Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk tidak membantahnya karena saya khawatir akan lebih banyak lagi yang tersesat terutama pada generasi sunda selanjutnya secara turun temurun. Maka secara ringkas saya katakan:
            Tanggapan Pertama, Adapun mereka yang mengatakan Prabu Siliwangi sebagai pemeluk agama Hindu sejati rela menghilang dari kehidupan nyata demi mempertahankan keyakinannya adalah mereka yang tidak mempunyai dasar. Menurut hemat saya, ketika Prabu Siliwangi hendak menikahi Nyai Subanglarang bahwa secara logika dan menurut sisi hukum Syari’at Islam bukan berdasarkan hasil terawangan ataupun penelusuran batin yang salah kaprah, jika seorang non muslim hendak menikahi wanita atau pria yang beragama Islam maka ia yang non muslim apapun agamanya terlebih dahulu harus mengucapkan Dua Kalimah Syahadat sebelum akad pernikahannya dilangsungkan.
            Di dalam ajaran agama Islam, tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ para ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrikin; Budha, Hindu, Majusi, ataupun dari kalangan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nashrani. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:

“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman”.(Q.S Al-Baqarah: 221)
            Dalam ayat di atas, Allah SWT melarang para wali perempuan (ayah, kakek, saudara, paman, dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggungjawabnya dengan laki-laki non muslim.
            Kondisi tersebut sama persis kedudukannya saat peristiwa dimana seorang non muslim dalam hal ini adalah Prabu Siliwangi yang akan menikahi seorang muslimah, Nyai Subanglarang. Maka hukum Islam diatas sangat berlaku baginya meski beliau merupakan seorang raja harus tunduk pada syari’at Islam. Apalagi yang menikahkan mereka adalah seorang ulama besar yakni Syeikh Quro. Sangat tidak mungkin jika hukum syari’at Islam tidak diketahuinya atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya. Inilah fakta yang mempunyai dasar, bukan hanya menurut “konon katanya”.
            Tanggapan Kedua, mereka mengatakan bahwa Prabu Siliwangi memerintahkan Prajurit Pakuan Pajajaran untuk menyerang Kesultanan Cirebon karena telah menyebarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Ini adalah perkataan mereka yang sangat tidak relevan dengan sejarah.
            Menurut naskah Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2 menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayatullah yang merupakan cucu Prabu Siliwangi dari anaknya Nyimas Rarasantang, dinobatkan oleh Pangeran Cakrabuana sebagai Susuhunan Jati pada Kesultanan Pakungwati.
            Ketika itu Prabu Siliwangi baru saja menempati Istana Sang Bhima, kemudian diberitakan bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota prajuritnya yang dikirim dari Pakuan Pajajaran menuju Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Hal ini membuat Jagabaya dan pasukannya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar.
            Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Prabu Siliwangi. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi, pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita[11] keraton Ki Purwa Galih. Purohita itu mengatakan bahwa Cirebon merupakan daerah warisan dari anaknya sendiri terhadap cucunya, Pangeran Cakrabuana kepada Syarif Hidayatullah. Bagaimana nanti tanggapan dari negeri-negeri sahabat jika seorang kakek menyerang anak dan cucunya sendiri. Maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh Prabu Siliwangi.
            Keadaan bertambah tegang ketika hubungan Demak dan Cirebon semakin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak.  Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Prabu Siliwangi. Sedangkan Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati tetap menghormati Prabu Siliwangi karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan.
            Sejatinya ketidaksenangan Prabu Siliwangi bukan terhadap Kesultanan Cirebon yang telah berhasil menyebarkan agama Islam, melainkan karena hubungan Demak yang terlalu akrab dengan Cirebon. Terhadap agama Islam, ia sendiri tidak membencinya, karena salah satu dari istrinya pun adalah seorang pemeluk agama Islam yakni Nyai Subanglarang.
            Dalam sumber sejarah Carita Parahyangan, pemerintahan pada masa Prabu Siliwangi dilukiskan sebagai berikut:

“Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa”. (Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).

            Dari naskah tersebut dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak masyarakat atau rakyat Pajajaran yang meninggalkan agama lama (Sunda Wiwitan) dan beralih memeluk agama Islam. Jadi, tidaklah benar jika ada yang mengatakan bahwa Kerajaan Pajajaran menyerang Cirebon disebabkan karena kebencian Prabu Siliwangi terhadap Islam. Justru merekalah yang mengatakan demikian itu karena kebencian mereka terhadap Islam dan menyebarkan dongeng-dongeng penuh kebohongan dan kepalsuan. Adapun saya disini tidak bercerita dongeng yang terlahir dari hasil imaginasi dangkal, melainkan saya berbicara mengenai fakta sejarah yang sudah tercatat.    
            Tanggapan ketiga, ada yang mengatakan bahwa Prabu Siliwangi tidak mempunyai keturunan yang beragama Islam. Saya pernah berbincang-bincang dengan salah satu penganut keyakinan Sunda Wiwitan di zaman sekarang ini,  menurutnya salah satu anak Prabu Siliwangi dari Nyai Subanglarang yang paling terkenal bernama Ki Hyang Santang itu hanyalah tokoh fiktif yang diada-adakan. Begitupun anak-anak Nyai Subanglarang yang lain itu tak pernah ada.
            Menurut saya, perkataan mereka hanyalah merupakan propaganda penyesatan dan berusaha mengkaburkan bukti-bukti peninggalan yang ada. Sedangkan, sangat begitu jelas dalam catatan sejarah dikatakan, bahwa dari pernikahan Prabu Siliwangi dan Nyai Subanglarang ini dikaruniai tiga orang anak. Masing-masing yaitu Prabu Anom Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M. Anaknya yang kedua adalah Nyimas Ratu Rarasantang yang lahir tahun 1426 M, sedangkan anaknya yang ketiga adalah Raden Raja Sanggara yang lahir pada tahun 1428 M.
            Dari pernikahan Nyimas Rarasantang dengan raja Mesir yang masih ada garis keturunan dari Bani Ismail bernama Sultan Syarif Abdullah lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Nyimas Rarasantang pada waktu itu, setelah menikah dengan raja Mesir  berganti nama menjadi Syarifah Mudaim yang sekarang makamnya berada di Cirebon bersama kakaknya, Pangeran Cakrabuana (Prabu Anom Walangsungsang). Selain itu, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Djati) pun dimakamkan di tempat yang sama. Sedangkan makam Raden Sanggara yang menurut masyarakat Garut beliau adalah Ki Hyang Santang atau Sunan Rohmat dimakamkan di Godog, Garut.  
            Dari Syarif Hidayatullah, keturunan-keturunan Prabu Siliwangi menyebar hampir ke seluruh wilayah di Jawa Barat, terutama di daerah Banten dan Cirebon. Makam-makam keturunannya yang berada di tiap-tiap daerah inilah sebagai tanda bukti bahwa mereka pernah hidup dan bukan tokoh fiktif seperti yang dikatakan oleh mereka yang berusaha menyesatkan orang-orang Islam dan keturunan-keturunan tanah Sunda.  
            Pertanyaan sederhana untuk mereka, jika memang benar bahwa anak-anak Prabu Siliwangi dari Nyai Subanglarang itu tidak pernah ada dan dianggap sosok yang diada-adakan, lantas keturunan siapakah gerangan Sunan Gunung Djati (Syarif Hidayatullah) yang termasuk salah satu dari Wali Songo itu? Dari mana asalnya Pangeran Cakrabuana, Nyimas Rarasantang, dan Raden Sanggara (Sunan  Rohmat) jika mereka bukan keturunan dari Prabu Siliwangi? Percayakah mereka semua terlahir ke dunia tanpa ada yang melahirkan sementara bukti-bukti makam mereka masih ada? 

            Meskipun nama-nama mereka tidak tertulis di dalam Batu Tulis dan bukan penulis di Batu Tulis, tapi sejatinya merekalah yang telah banyak memberikan perubahan besar dan mengubah haluan kemusyrikan menuju ke-tauhid-an di tanah Jawa Barat.  
            Memang saya disini mengakui bahwa Prabu Siliwangi setelah dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Sunda-Galuh yang kemudian dirubahnya menjadi Kerajaan Pajajaran menjadikan agama resmi kerajaannya yang dianut saat itu adalah Sunda Wiwitan. Akan tetapi, yang terpenting disini adalah bahwa Prabu Siliwangi telah ber-Syahadat dan mengakui bahwa “Tiada Tuhan Selain Allah”. Mana mungkin jika Prabu Siliwangi bukan seorang muslim sementara anak-anak dan keturunannya menjadi para wali Allah dan menjadi ulama-ulama besar Islam pada zamannya masing-masing. Kecuali anak Prabu Siliwangi dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda yang bernama Prabu Surawisesa inilah yang tetap setia dengan agamanya yang kemudian diagungkan oleh para penganut Sunda Wiwitan hingga kini.      
            Perlu diketahui, bahwa kerajaan Pajajaran yang dahulu kala menganut ajaran Sunda Wiwitan, kelak akan lenyap dan tidak akan pernah berdiri lagi, sebab akan digantikan dengan kerajaan Pajajaran yang baru, yakni Pajajaran yang menganut ajaran Islam; Pasundan Islam. Hal ini telah disampaikan oleh Prabu Siliwangi dalam sebagian wangsitnya:    

“Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engke jagana jembar senang mugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran. Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obahna zaman; Pilih: ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, heunteu pantes jadi raja amun somah sakabehna lapar bae jeung balangsak.” (Kalian boleh memilih untuk hidup ke depan nanti, agar besok lusa, kalian hidup senang kaya raya dan bisa mendirikan lagi Pajajaran! Bukan Pajajaran saat ini (penganut Sunda Wiwitan) tapi Pajajaran yang baru (Pasundan Islam) yang berdiri oleh perjalanan waktu! Pilih! Aku tidak akan melarang, sebab untukku, tidak pantas jadi raja jika rakyatnya lapar dan miskin).

Wallahu 'Alam. (Gugun Sopian) 



[1] Tapa Brata adalah sejenis tapa untuk meraih kesempurnaan jiwa.
[2] Ua dalam bahasa Sunda adalah sebutan atau panggilan kepada kakak dari ayah atau ibunya. Dalam hal ini, Ki Gedeng Sendangkasih merupakan kakak dari ayahnya Prabu Siliwangi yakni Ningrat Kencana atau Dewa Niskala, keduanya merupakan anak dari Prabu Wastu Kencana dari istrinya yang bernama Mayangsari.   
[3] Dalam Purwaka Caruban diterangkan bahwa “I telas ira Ki Gedeng (Sedang) Kasih angemasi, Sang Prabhu Siliwangi rinatwaken ta sireng Sedangkasih nagari, yata ri huwus malahaken wigrahanya kabéh.”(Setelah Ki Gedeng Sendangkasih meninggal, Prabu Siliwangi dijadikan raja di Negara Sendangkasih (Surantaka), yaitu setelah mengalahkan semua musuhnya).   
[4] Dalam Prasasti Batu tulis diberitakan bahwa Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja dua kali, sebagai raja kerajaan Galuh dan raja kerajaan Sunda. Kerajaan Galuh diserahkan dari ayahnya, Dewa NIskala kepada Prabu Siliwangi. Sedangkan tahta kerajaan Sunda diserahkan dari mertuanya, Prabu Susuktunggal yang merupakan ayah dari Nyai Kentring Manik Mayang Sunda.    
[5] Mushola yang didirikan oleh Syeikh Hasanuddin ini sekarang menjadi Mesjid Agung Karawang.
[6] Rahasia ghaib
[7] Nyai Subanglarang digambarkan dalam Purwaka Caruban sebagai “yata kanya paripurna ing hayu, kadi patang welas kang chandra ng téjamaya.”(Nyai Subanglarang adalah wanita yang kecantikannya sangat sempurna, ibarat cahaya terang bulan tanggal empat belas.   
[8] Pada zaman dahulu, tasbih yang biasa digunakan orang Islam untuk wirid ini sulit dicari dan ditemukan, tidak seperti pada zaman sekarang orang Islam mudah untuk mendapatkannya karena sudah banyak toko-toko yang menjualnya.
[9] Hal tersebut pernah dipublikasikan dalam tulisan Antropolog Nanang Saptono yang berjudul “Di Jateng Ada Candi, Di Jabar Ada Kabuyutan”. Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas edisi 3 September 2001.
[10] Mengenai semakin tersebar luasnya ajaran agama Islam di wilayah Pajajaran, Prabu Siliwangi pernah mengatakan “Ngaing Raja Pajajaran hanteu nyaram somah milih agama, anu dicaram soteh nyaéta: palah-pilih teu puguh milih, mimiti milih agama ieu laju bosen … milih deui! Raja Pajajaran, henteu nyaram somah milih agama, ari tetala mah éta agama lain pi’eun ngaganggu kasantosaan nagara, lain pi’eun macikeuh anu barodo, lain pi’eun numpuk kabeungharan, lain pi’eun kasenangan sorangan. “(Raja Pajajaran tidak melarang rakyat memilih agama, yang dilarang hanyalah sembarangan memilih suatu yang tak tentu mula-mula pilih satu agama sudah bosan … memilih lagi! Raja Pajajaran tak melarang rakyat memilih agama bila jelas itu agama bukan untuk mengganggu kesejahteraan negeri, bukan untuk mengakali orang bodoh, bukan untuk menumpuk kekayaan, bukan untuk kesenangan pribadi).
[11] Pendeta tertinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar